Ajaran yang harus direvisi

“Ibu mau ke pasar?” tanya anak saya ketika dilihatnya saya siap-siap hendak ke pasar.

“Iya, ikut?”

“Ikuuuttt!” serunya.

“Ayooo.”

Dia selalu suka kalau diajak ke pasar yang jarang-jarang bisa dikunjunginya. Pasar tradisional yang akan kami tuju hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah saya. Pasar ini amat bersih dan beberapa kali mendapat perhatian dan bantuan dari Pemkot karena kebersihannya. Kami menyusuri lorong-lorong pasar yang hari itu tampak tidak begitu ramai. Tiba-tiba anak saya yang berada di belakang saya berteriak tertahan.

“Aduh, Ibuuuu!”

Saya kaget dan seketika membalikkan badan. “Kenapaaa??”

“Mau copot jantungnya Ajung!” katanya, wajahnya agak pucat memutih.

“Tapi, kenapaaaa?”

Saya tidak melihat ada yang aneh. Hanya kedua tangannya mendekap dadanya. Saking penasarannya, saya memperhatikannya dengan saksama. Dia tampak baik-baik saja. Tadinya saya pikir dia terluka kena gores apa, gitu. Tapi dia masih belum bisa bicara. Saya bergeser agak ke pinggir supaya tidak mengganggu lalu-lalang orang. Karena saya tidak menemukan sesuatu yang aneh pada dirinya, saya diam, menatapnya dan menunggu penjelasannya.

Beberapa saat kemudian dia berkata dengan suara pelan.

“Ajung membunuh sesuatu… Ajung menginjaknya sampai mati, Ajung tidak bisa menghindar.” Kedua tangannya masih tetap di dadanya.

“Membunuh apaaa?”

“Kecoa.”

Ya, ampunnn! Saya hampir tertawa, tapi melihat raut wajahnya yang tampak prihatin, saya hanya tersenyum, tidak jadi tertawa dan bertanya untuk menunjukkan empati belaka, “Kok bisa?”

“Ajung betul-betul tidak bisa menghindar, Bu, kakinya Ajung sudah melayang, sudah terayun melangkah, tiba-tiba kecoa itu datang dan diam persis di bawah telapak kakinya Ajung. Yah, Ajung ngga bisa lagi mengangkat kaki yang sudah siap dijejakkan itu,” jelasnya panjang lebar.

“Ya, sudah, jangan dipikirkan lagi. Sudah takdirnya dia mati seperti itu, mungkin sorganya dia ada di bawah telapak kaki Ajung,” canda saya untuk menghiburnya.

Tapi di luar itu ada yang menjadi pikiran saya. Saya jadi berpikir jangan-jangan ada yang salah dengan ‘ajaran’ saya selama ini. Memang dari dulu, dari semenjak dia mengerti, saya sering menekankan bahwa kita tidak boleh menyakiti makhluk apa pun. Tak saya sangka, ajaran ini menjadi ‘bumerang’. Dia selalu merasa bersalah setiap merasa menyakiti atau membunuh makhluk hidup tertentu. Padahal memang ada beberapa makhluk yang harus dibunuh demi keselamatan manusia.

Yah, ini PR bagi saya untuk meluruskan ‘ajaran’ lama yang ‘kurang bener’ itu.

Leave a comment