Archive | May 2013

“Korban” Nyentana

Beberapa hari yang lalu saya mendengar kabar putusnya hubungan seorang teman saya dengan pasangannya. Sayang sekali sebenarnya. Memasuki tahun kesembilan, hubungan mereka tidak bisa dipertahankan lagi, padahal  mereka sudah sempat membicarakan pernikahan.

Setelah sekian tahun menjalin hubungan, bukanlah perkara gampang untuk akhirnya memutuskan menutup jalinan kasih mereka. Penyebabnya adalah tidak ada titik temu untuk bisa melanjutkan ke jenjang pernikahan. Kenapa demikian? Pihak keluarga perempuan menginginkan calon mantunya agar  bersedia ‘nyentana’. Sedangkan  orangtua si lelaki, tidak mengizinkan anaknya untuk nyentana. Kedua belah pihak sudah beberapa kali bertemu, tetapi tidak pernah ada kesepakatan. Tentu saja, bagaimana bisa sepakat, karena kedua belah pihak mengeluarkan persyaratan yang bertentangan satu sama lain.

Apa itu nyentana? Secara garis besar, nyentana adalah di mana si gadis yang meminang seorang pria untuk dijadikan suaminya dan selanjutnya diajak tinggal di rumah si gadis. Kemudian keturunannya akan menjadi milik dan melanjutkan ‘klan’ keluarga si gadis.  Dengan kata lain, si gadis di sini mengambil posisi purusha dan si lelaki mengambil posisi pradana.

Nyentana bukanlah kaidah dalam Agama Hindu, tetapi salah satu Hukum Adat dan memang tidak berlaku di seluruh daerah. Misalnya (yang saya tahu), di daerah Karangasem tidak mengenal nyentana, tapi di daerah Tabanan, nyentana lumrah dilakukan. Syarat utama nyentana adalah harus mendapat persetujuan dari kedua belah pihak keluarga, karena si lelaki akan melepaskan hak dan kewajibannya di rumah asalnya untuk masuk ke rumah si gadis dan menerima hak serta kewajiban di rumah si gadis.

Inilah yang menjadi kendala hubungan teman saya itu. Tidak ada persetujuan dari pihak keluarga lelaki. Sedangkan syarat dari pihak orangtua si gadis, mereka hanya boleh menikah kalau si lelaki mau nyentana. Titik. Akhirnya, kandaslah hubungan mereka.

Beberapa hari yang lalu saya sempat berkomunikasi dengan teman saya itu. Dia bilang: “Mbak, berakhir sudah kisah cinta saya.” Saya ikut sedih, dan hanya bisa bilang: “Mungkin kalian memang tidak berjodoh, Tuhan tahu yang terbaik untuk kalian.” Klise ya?

Anak saya yang juga tahu kisah ini, sempat nyeletuk: “Egois sekali sih orangtua mereka, tidak memikirkan perasaan anaknya. Kasihan, mereka jadi korban ambisi orang tua. Ibu, nanti jangan paksa Ajung untuk mencari sentana ya.”

Oh, memaksamu? Never! Tentu saja tidak, sayang. Kalau harus memilih, ibumu lebih memilih mengorbankan kebahagiaan sendiri dari pada harus mengorbankan kebahagiaanmu.