Hidup Yang “Fragile” (2)

gelas retakSebulan yang lalu saya menulis sebuah artikel dengan judul yang sama. Iya, cerita tentang kehidupan yang berteman kematian memang tak akan pernah habis. Saya menulis artikel tersebut untuk mengenang adik ipar saya (suami dari adik saya yang nomor 5) yang kepergiannya  meninggalkan duka mendalam bagi keluarganya.

Saat itu tanggal 19 November 2020, saya masih berada di setra (kuburan) untuk mengikuti ritual ngaben (kremasi jenazah adik ipar ini), ketika saya menerima kabar bahwa suami dari kakak sepupu saya meninggal mendadak. Kami semua tentu kaget. Pasalnya, kakak ipar ini tidak mempunyai riwayat sakit. Paginya masih sehat wal’afiat ketika hendak berangkat ke kampus. Kakak ipar ini seorang dokter spesialis kulit sekaligus seorang Guru Besar di FK Unud. 

Cerita yang saya dengar dari keluarga dekat almarhum,  pagi itu almarhum berangkat  bersama sopir pribadinya ke kampus hendak menghadiri rapat dengan Dekan. Setiba di pelataran parkir, almarhum merasa tidak enak badan lalu menyuruh sang sopir untuk naik ke ruang dekan dan menyampaikan pesannya bahwa almarhum tidak bisa ikut rapat.  Almarhum juga berpesan agar sang sopir segera kembali untuk segera mengantarnya ke RS. Rupanya saat itu almarhum betul-betul merasa butuh bantuan medis secepatnya. 

Setelah menyampaikan pesan, sang sopir bergegas ke mobil dan segera meluncur menuju RS Sanglah yang letaknya tak terlalu jauh dari kampus Unud. Begitu sampai di IGD, almarhum langsung ditangani dan diberikan pertolongan pertama. Almarhum sempat berkata berulang-ulang: “Mati dah saya sekarang.”

Segala cara telah dilakukan oleh petugas medis, tetapi nyawa almarhum tak tertolong. Penyebab kepergian almarhum dinyatakan karena serangan jantung.

Sungguh, apa yang lebih “fragile” dari hidup ini?

Ketika saya datang ke rumah duka, saya sempat ngobrol dengan kakak sepupu (istri almarhum). Kakak ini bercerita betapa almarhum sangat menjalankan hidup sehat. Semua serba teratur. Tidak mau makan sembarangan. Almarhum bahkan sering mengomeli sang istri yang dianggapnya sering makan makanan tak sehat. Kalau  mau makan daging ayam, tidak boleh makan pahanya, lehernya, cekernya, jeroannya, dsb.

Sang istri yang sering kesal dengan segala larangannya, menjawab dengan santai: “Baiklah, kalau begitu saya akan masak sop bulu ayam dan tahi ayam.”

“Coba pikir, begitu ketatnya dia menjaga kesehatan, makan sehat dan teratur, olah raga teratur, kok dia mati juga?” kata sang istri dengan mimik yang susah dijelaskan. Antara tertawa dan menangis. 

Yah, begitulah, kalau sudah tiba saatnya, kita tak bisa bicara apa pun. Kematian adalah misteri. Hanya Tuhan yang tahu kapan kita harus meninggalkan dunia ini untuk kembali kepada-Nya.

Namun, itu tidak lantas membuat kita hidup sembarangan kan? Kita tetap harus berusaha menjaga kesehatan semaksimal mungkin, karena kalau kita tetap sehat, setidaknya kualitas hidup kita akan bagus.  Seperti almarhum ini, sepanjang hidupnya almarhum selalu sehat, tidak pernah sakit serius sehingga bisa melakukan semua aktivitasnya dengan baik.

Sekali lagi pepatah “Manusia mati meninggalkan nama dan gajah mati meninggalkan gading” terbukti sangat benar. Selama hidupnya almarhum dikenal sebagai orang yang suka menolong. Suka melakukan yadnya. 

Ibu saya beberapa kali menjadi pasiennya karena sempat bermasalah dengan kulitnya yang sensitif.  Waktu masih gadis saya juga sempat menjadi pasiennya karena jerawat membandel di wajah.  Karena selalu tidak dikasih bayar, ibu saya merasa tak enak hati juga. Suatu saat ibu mencoba untuk membayar. Almarhum langsung bilang: “Tante, tolong dong kasih saya kesempatan untuk meyadnya.”

Begitulah, berakhirlah perjalanan seorang insan di dunia ini. Kebaikannya akan selalu dikenang.

Hidup ini memang seperti gelas kaca yang begitu “fragile” dan mudah pecah berkeping-keping.

 

Sumber gambar: dari Google.

Hidup Yang “Fragile”

Apa yang lebih fragile dari hidup ini?  Ketika kita masih berusia belasan tahun atau usia 20-an, kita mungkin tidak pernah berpikir tentang betapa fragile-nya hidup ini. “Hidup ini singkat!” Mungkin kita sering mendengar ungkapan ini, tetapi kita tidak pernah benar-benar memikirkannya.

Kini, ketika usia saya sudah 50-an, saya semakin menyadari betapa singkatnya hidup ini. Berapa lama kita akan berada di dunia ini? Kita tak pernah tahu. Mungkin besok atau lusa Tuhan akan memanggil kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha berbuat baik sebanyak mungkin selama kita masih punya napas. Karena hanya karma yang bisa kita bawa ketika tiba saatnya Tuhan memanggil kita.

Tulisan ini saya buat untuk mengenang adik ipar saya (suami dari adik saya yang nomor 5), yang telah berpulang tanggal 4 November 2020. Mestinya, tanggal 5 Desember 2020 mendiang merayakan ultahnya yang ke-54. Namun, Tuhan berkehendak lain. Sebulan sebelum ultahnya, Tuhan telah memanggilnya pulang, meninggalkan istri dan dua anaknya yang baru menginjak remaja. Bisa dibilang mendiang pergi ketika sedang berada di puncak karir dan sangat produktif. Di mata saya mendiang adalah sosok pekerja keras dan sangat bertanggung jawab.

Masih banyak keinginan mendiang yang belum sempat diwujudkannya karena waktu tinggalnya di bumi ini sudah habis. Tak usah diceritakan bagaimana kedukaan yang melanda istri dan anak-anaknya, tetapi mereka harus ikhlas melepas kepergiannya. Setelah upacara pengabenan dan ritual lainnya selesai, sang istri harus mulai menata hidupnya.

Ada saat-saat ketika si istri tidak bisa menahan kesedihan ketika staf Humas mendiang menghubunginya dan mengatakan: ”Ibu, saya sebenarnya disuruh oleh Bapak mencari tiket promo ke luar untuk liburan sama keluarga. Ternyata, Bapak pergi duluan.”

Kemudian seorang mantan mahasiswanya yang tinggal di Labuah Bajo juga menghubungi si istri dan bilang, “Ibu, Bapak janji Oktober tahun ini mau datang ke Labuan Bajo lagi bersama keluarganya, tapi… Bapak keburu sakit dan sekarang malah sudah ngga ada.”

Iya, manusia hanya bisa berencana, tetapi Tuhan yang menentukan.

Yang agak menghibur adalah, begitu banyak keluarga, teman, kolega, kerabat yang mendoakan mendiang dan menunjukkan simpatinya baik berupa moril maupun materil.

Benar kata pepatah, “Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.”

Semasa hidupnya mendiang memang banyak membantu orang. Begitu banyak yang merasa hidupnya atau masalahnya dimudahkan oleh mendiang sehingga jasanya tak pernah dilupakan. Begitu juga di tempatnya bekerja. Mendiang banyak membuat terobosan dan inovasi-inovasi untuk kemajuan institusi tempatnya bekerja. Mendiang memang sangat mencintai pekerjaannya dan tempat di mana dia bekerja.

Karma baik yang dibuat selama hidupnya mulai memberi dampak untuk keluarga yang ditinggalkannya. Anak pertamanya baru kuliah semester I. Pihak kampus tempatnya kuliah memberikan beasiswa untuk si anak sampai tamat. Lalu, menyusul anaknya yang kedua, yang baru duduk di kelas 3 SMP, juga mendapat beasiswa (bebas SPP) dari sekolahnya. Ternyata orang Tata Usaha di SMP ini adalah mantan mahasiswa mendiang.

“Bapak ini dosen saya yang paling baik, Bu. Saya sangat berterima kasih karena Bapak sering membantu saya. Saya sangat sedih ketika mendengar Bapak sudah tiada,” katanya.

Untuk menunjukkan terima kasihnya, orang TU ini lalu memproses segala sesuatunya agar si anak bisa mendapatkan beasiswa.

Setidaknya, bantuan ini sedikit banyak  meringankan beban si istri yang selama ini memang tidak bekerja dan sekarang harus kehilangan tulang punggung keluarga.

Memang mendiang meninggalkan cukup materi untuk biaya hidup keluarganya, minimal sampai si anak bisa mandiri, tetapi tetap saja si istri merasa agak was-was.  Tuhan Maha Besar, karena Dia memanggilnya pada saat mendiang masih punya tanggung jawab, Tuhan pun tidak tinggal diam. Sampai sebulan setelah meninggalnya, bantuan materi masih mengalir dari rekan-rekan mendiang. Tak dipungkiri tentu ini akibat dari tabungan karma baik yang dibuat oleh mendiang.

Semoga keluarga yang ditinggalkannya senantiasa dalam perlindungan Tuhan, dan segala urusannya agar selalu dimudahkan. Swaha.

Gembel teriak gembel

Sejak masuk SD anak saya sudah terbiasa menceritakan kejadian apa pun yang dialaminya di sekolah. Apakah kejadian itu menyangkut dirinya atau kejadian yang menimpa teman-temannya, dia selalu cerita. Entah ada temennya yang berantem, entah ada teman yang dimarahi guru, entah ada teman yang mengejeknya, semua dia ceritakan. Apakah itu tentang guru-gurunya, sifat dan sikap guru-gurunya, semua dia ceritakan. Saking mendetailnya dia cerita, saya sampai merasa ada di TKP, saya sampai merasa mengenal mereka semua. Kebiasaannya yang selalu bercerita apa saja, membuat saya mengenal hampir semua teman-teman dekatnya.

Dari apa yang diceritakannya, saya bisa mengetahui situasi di sekolahnya. Kalau saya merasa ada situasi yang berbahaya, saya akan mengambil tindakan yang saya rasa perlu. Waktu SD dia pernah bercerita ada teman cowoknya yang nakal sekali dan sering menjambak rambut panjangnya tanpa alasan. Karena kejadiannya berkali-kali, saya merasa harus mendatangi si anak nakal itu ke sekolah. Cerita lengkapnya saya tulis di sini.

Sampai sekarang, sampai dia sudah kuliah, kebiasaannya itu masih tetap berlangsung. Kali ini dia bercerita tentang temannya yang mengatainya gembel. 😀 Seperti biasa, gaya berceritanya yang ekspresif plus bahasa tubuh dan gerak-geriknya yang sangat mendukung ceritanya, membuat saya merasa ada di TKP dan merasakan suasana saat kejadian.

Ceritanya dimulai ketika salah satu temannya, cewek, sebut saja bernama G, tanpa ba-bi-bu tiba-tiba saja menarik pinggangnya dan berkata dengan keras. Kejadiannya di tengah ruang kuliah ketika dosen tidak ada.

“Eh, gembel, kau benar-benar gembel… lihat bajumu robek seperti ini masih kau pakai juga? Dasar gembel!”

Anak saya kaget dan otomatis meraba pinggangnya. Ternyata benar, baju seragam putihnya robek di bagian sana, tepatnya, jahitannya terlepas, persis di pinggir sakunya. Baju seragamnya di bagian depan memang ada dua saku, kiri dan kanan. Anak saya tak bisa berkata apa-apa, hanya bisa meringis sambil berusaha menghindari incaran G yang terus berusaha menarik seragamnya.

“Kau benar-benar gembel. Sungguh tak tahu malu memakai baju robek!” Si G menudingkan telunjuknya ke arah muka anak saya karena tak bisa menyentuh bajunya lagi. Dia tampak benar-benar puas mengerjai anak saya. Setelah berkali-kali mengatainya gembel, dia kemudian tertawa ngakak dengan puasnya.

Anak saya hanya tersenyum kecut. Sementara teman-temannya yang lain hanya bisa bengong menyaksikan ulah mereka berdua.

Karma kadang memang tak mau menunggu lama. 😀

Esok harinya, anak saya mendapat kesempatan untuk membayar lunas perlakuan G. Hari itu hari Rabu, mereka menggunakan seragam warna biru, dan… G tidak sadar bajunya juga robek, persis di tempat yang sama seperti baju anak saya. Anak saya melihatnya tanpa sengaja. Tentu saja dia tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Hahaha!

Tanpa berpikir panjang, dengan cepat anak saya menyambar pinggang si G dan menarik bajunya tepat di tempat yang robek itu.

“Hai, gembel! Sungguh kau tak tahu malu! Memakai baju robek seperti ini. Dasar gembel!” Anak saya mengulangi kata-kata G kemarinnya. Si G tak sempat menghindar, dia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman anak saya, tapi tak bisa.

“Mau kemana kau, gembel?” Si G berhasil melepaskan diri tapi anak saya mengejarnya, hingga dia terpojok di sudut ruangan kelasnya.

“Waduh, diam kamu, eeee, sialan… aku tak tahu bajuku robek. Udaah… diem dong,” dia memohon agar anak saya mau melepaskannya. Anak saya tentu saja tak mau melepaskan “korbannya”.

“Gembel macam apa kau ini, hah? Sesama gembel mestinya saling mendukung, bukannya saling menjatuhkan!” Dengan penuh drama anak saya menuding-nudingkan telunjuknya ke depan wajah G, persis seperti yang dilakukannya kemarin pada anak saya.

Sesekali anak saya membuat gerakan seolah-olah hendak menyerang pinggang G. Si G bergerak kesana-kemari berusaha “menyelamatkan” pinggangnya.

“Gembel kok teriak gembel! Dasar gembel tak tahu diri!”

Anak saya ngakak puasss sekali dan sangat menikmati tingkah G yang kelabakan lari kesana-kemari dalam kejarannya. Teman-teman sekelasnya semua melongo melihat pertunjukan “drama” itu.

Semua kejadian tersebut diceritakan oleh anak saya lengkap dengan ekspresi dan peragaannya. Bagaimana dia menuding temannya, bagaimana dia mengatainya gembel. Semua itu diperagakan dengan amat baik. Daannn… sepanjang dia bercerita (plus memperagakannya) membuat saya tertawa tak putus-putus. Perut saya nyaris kram karena lama terpingkal-pingkal. Mulut saya sampai sakit karena tak henti-henti tertawa. Waduh.

Tunggu… jangan kira mereka berdua, G dan anak saya, bermusuhan. Tidak. Mereka adalah dua sahabat. Mungkin model sahabatan mereka yang agak aneh. Teman-teman sekelasnya sudah biasa melihat mereka yang (sepertinya) bertengkar hebat. Tapi di hari lain mereka juga biasa melihat G curhat sambil nangis-nangis kalau lagi ada masalah. Dan biasanya, hanya anak saya yang bisa memberinya solusi. Sungguh, persahabatan yang aneh, bukan? 😀

Namun, kalau soal nilai-nilai persahabatan, saya tak meragukan anak saya. Saya pernah menulis sebuah kisah yang cukup memilukan tentang salah satu sahabatnya di sini.

Dasar anak-anak. 😉

Kisah Si Anak Burung

IMG_0048

Lihat, dia begitu ringkih….

Beberapa hari yang lalu saya menemukan seekor anak burung di halaman belakang, di bawah pohon kenanga. Bulu-bulunya belum tumbuh semua. Sayapnya belum bisa mengembang sempurna. Saya perkirakan dia terjatuh saat induknya mengajari dia terbang.  Saya segera memungutnya sebelum Roki dan Bingo ngeh. Begitu saya ambil, si burung kecil langsung  cuit-cuit ribut dan suara itu dengan cepat menarik perhatian kedua anjing saya. Roki dan Bingo langsung menemukan sumber suara itu dan mengejar saya, melompat-lompat mengelilingi saya. Saya sempat panik dan bingung mau diapakan anak burung ini.

IMG_0047

Bulunya belum mekar semua….

Bersamaan dengan itu datang dua burung dewasa yang terbang rendah sambil bercuit-cuit juga. Saya langsung ngerti mereka pasti induknya yang kebingungan mencari anaknya. Saya lebih bingung lagi, tidak tahu mesti taruh di mana  burung kecil ini. Kalau saya taruh di dahan begitu saja, saya khawatir dia terjatuh dan pasti akan dimangsa oleh anjing saya. Sekian detik saya berpikir apa yang harus dilakukan, sementara Roki dan Bingo terus saja ribut menggonggong karena mereka tahu ada burung kecil di genggaman saya.  Waktu itu saya sendirian di rumah. Seandainya ada orang lain, saya bisa minta bantuan untuk mengurus Roki dan Bingo. Akhirnya, saya bawa anak burung itu ke kamar. Saya taruh di atas meja, saya tutup semua jendela kemudian saya keluar untuk mengikat Roki.  Kalau Roki sudah diikat, Bingo pasti akan menungguinya dan saya bisa bebas dari kejarannya. Dengan demikian saya bisa bebas mengurus anak burung ini dan berusaha mencari sarangnya (kalau ada).

IMG_0056

Roki terpaksa diikat sebentar dan Bingo menungguinya dengan sabar

Setelah mengikat Roki, saya kembali ke kamar mengambil si anak burung.  Kedua burung dewasa itu masih ribut cuit-cuit, beterbangan di antara pohon jepun dan kenanga.  Saya bingung bagaimana caranya menyampaikan pesan kepada kedua induk itu bahwa anaknya ada pada saya. Saya sebenarnya takut berada di ketinggian, tapi kali ini terpaksa naik tangga untuk memeriksa apakah di atas pohon jepun ada sarangnya. Ternyata tidak ada. Bingung lagi.  Saya bolak-balik antara pohon jepun dan kenanga, mereka-reka seandainya saya taruh burung kecil ini di salah satu dahannya, apakah dia bisa diam. Saya sempat meletakkannya di dahan kenanga, tapi posisinya mencurigakan. Dia bisa jatuh lagi.

????

Pohon jepun dan keranjang plastik

Setelah sekian lama berpikir, akhirnya saya putuskan untuk meletakkannya di atas dahan jepun yang batangnya agak lebar. Tapi karena tak yakin, saya berpikir untuk meletakkan sesuatu di bawahnya, untuk berjaga-jaga seandainya burung itu jatuh, maka dia tetap aman.  Saya masuk ke gudang belakang mencari sesuatu untuk pengaman. Ketemu sebuah keranjang plastik. Saya naik tangga lagi untuk meletakkan keranjang tersebut di atas salah satu dahan. Setelah itu saya letakkan anak burung tersebut di dahan yang sedikit lebih tinggi dari posisi keranjang. Berhasil. Kakinya mencengkeram kuat dahan tersebut. Saya turun dan memperhatikannya dari bawah.  Sekian menit berlalu, akhirnya kedua burung dewasa itu berhasil menemukan anaknya.  Saat itu saya takjub sekali. Entah bagaimana caranya, burung dewasa itu berhasil membimbing si burung kecil naik ke dahan yang lebih tinggi perlahan-lahan. Makin tinggi dan makin tinggi. Sebenarnya saya ingin mengabadikan momen tersebut, tapi saya khawatir kalau saya mendekati mereka, induk burung itu akan terbang menjauh. Kasihan anaknya.

????

Pohon kenanga

Setelah yakin mereka baik-baik saja, saya tinggal pergi menyiapkan canang (saat itu saya mau ‘mebanten’). Kira-kira seperempat jam kemudian, saya menengoknya lagi.  Mereka masih di sana, posisi si anak burung sudah makin tinggi.  Saya tinggal pergi lagi. Sepuluh menit kemudian saya menengoknya lagi. Dan… mereka sudah hilang! Rupanya si induk berhasil mengajak anaknya terbang. Syukurlah.  Setidaknya, ‘pengorbanan’ saya naik tangga tidak sia-sia. 😀 Tapi saya masih takjub sendiri. Masih terbengong-bengong membayangkan induk burung itu membimbing anaknya selangkah demi selangkah hingga akhirnya bisa terbang. Alam ini sungguh ajaib! Sampai sekarang burung-burung tersebut masih sering main-main di pohon jepun dan kenanga ini. Saya tak tahu mereka jenis burung apa. Yang jelas bukan burung tekukur. Kalau tekukur saya hapal betul karena ada banyak tekukur yang juga sering main ke sini. Burung tadi ukurannya lebih kecil dari tekukur dan lebih besar dari burung pipit. Apa ini mungkin yang disebut burung “becica”? Tak penting apa jenisnya, yang penting mereka sudah selamat.

Legaaaa!

Pudarnya “taksu” Arjuna

Shaheer-SheikhMalam itu anak saya tampak sebal sekali. Dia sedang duduk di atas tempat tidurnya sambil memegang remote TV. Saya kebetulan memang mau masuk ke kamarnya

“Lihat nih, Bu… Ajung malu nonton acara ini.”

“Acara apa?”

“Tuh, Ibu lihat aja sendiri.”

Di layar TV sedang ada tayangan iklan acara “Panah Asmara Arjuna”. Oh, ini rupanya yang membuat dia mencak-mencak. Kalau saya perhatikan sekilas, konsep acara ini seperti acara “Rumah Petir” yang pernah ditayangkan oleh Anteve sekian tahun silam. Ada beberapa kontestan yang sudah lolos audisi kemudian tinggal bersama (diasramakan) di satu rumah. Selanjutnya para kontestan akan mengikuti serangkaian acara atau tantangan. Tiap minggu akan ada kontestan yang dieliminasi hingga tinggal satu orang. Nah, yang tersisa itulah yang keluar sebagai pemenang dan berhak mendapatkan rumah yang mereka tempati itu sebagai Penghuni Terakhir (Petir). Secara garis besarnya demikian.

Konsep Panah Asmara Arjuna (PPA) ini saya rasa agak mirip seperti itu (kalau dilihat dari cuplikan iklannya yang terpaksa saya tonton karena tak ingin ketinggalan Mahabharata).  Gadis-gadis peserta PPA ini dikarantina di satu tempat dan Arjuna akan mendatangi mereka setiap hari untuk memberikan serangkaian tantangan. Para gadis tersebut wajib melakukannya dan bersaing untuk keluar sebagai pemenang dan mendapatkan hadiah tertentu (saya tak tahu hadiahnya).

Saya sendiri tak tertarik menonton acara ini. Acara yang saya tunggu di Anteve hanyalah Jodha Akbar, Mahabharata, Ramayana dan Mahadewa.  Tak saya sangka ternyata anak saya juga tak suka acara PPA, yang menurutnya mengubah imej Arjuna.

“Yah, kalau ngga suka pindah aja salurannya, jangan lihat yang itu.”

“Tapi Ajung nunggu Mahabharata, ntar kalau dipindah bisa kelewatan,” jawabnya, namun tak urung dipindahnya juga saluran TV ke NetTV (saluran TV favoritnya sekarang ini).

“Ibu tahu ngga, acara ini membuat taksu Arjuna jadi hilang. Ajung jadi ilfil nih,” lanjutnya kesal.

Saya tahu persis, anak saya sangat menyukai karakter Arjuna sejak Arjuna masih kecil (sebelum diperankan oleh Shaheer Sheikh).  Dia sangat menyukai perlakuan Arjuna terhadap ibunya. Dari kelima Pandawa, menurutnya Arjunalah yang paling besar perhatian dan sayangnya kepada ibunya. Ketika Arjuna dewasa diperankan oleh Shaheer Sheikh, dia lebih senang lagi (karena wajahnya yang rupawan dan aktingnya yang menawan). Apalagi ketika adegan Arjuna menadah air mata ibunya yang kemudian diusapkan ke wajah dan rambutnya. Dia sangat terkesan. Tokoh Arjuna (di matanya) termasuk cukup jaim dan tidak cengengesan walaupun dia digambarkan amat tampan. Dia suka karakter itu.

Nah, ketika ada acara Panah Asmara Arjuna, tiba-tiba “nilai” Arjuna jadi turun drastis di matanya. Langsung kebanting! Ditambah lagi para peserta PAA yang dianggapnya terlalu agresif dan (maaf) agak genit. Dia merasa para peserta tersebut tidak mewakili karakter perempuan Indonesia pada umumnya. Lengkaplah sudah kekecewaannya.

Ini memang masalah selera. Mungkin banyak yang menyukai acara PAA tersebut, mungkin hanya dia yang tak suka. Bukan hanya tak suka, dia bahkan malu melihatnya. Parah yah, anak ini?

Dia lupa bahwa itu adalah dunia bisnis. Dia lupa bahwa Shaheer Sheikh juga hanya berakting di sana. Tapi dia sudah terlanjur ilfil dan tak lagi mengidolakan Sang Arjuna. Dia sudah pindah ke lain hati. Ke hati siapa? Abimanyu!  Sekarang, setiap saat dia membicarakan Abimanyu. Katanya, Abimanyu cakep sekali. Abimanyu sangat cocok dengan Uttari, pasangan yang serasi. Cakep dan cantik!

Ah, dasar anak-anak! 😀

Tapi, ketika dia teringat bahwa Abimanyu akan gugur secara mengenaskan di medan Kuruksetra, wajahnya tiba-tiba amat sedih. Dia tak rela dan menyesal kenapa Abimanyu mesti gugur. Kasihan Uttari, baru juga mereka menikah dan belum sempat menikmati kebahagiaan, katanya.

Yah, kau harus tahu, Nak, apa yang kita hadapi tak selalu sama seperti apa yang kita harapkan.

Pernikahan adat Bali (1)

Di Bali pelaksanaan upacara agama tak bisa dipisahkan dengan adat, tradisi dan budaya. Begitu juga dalam upacara pernikahan.  Kali ini saya ingin menulis acara pernikahan salah satu keponakan saya yang berlangsung bulan Agustus kemarin.

Dalam pelaksanaan upacara pernikahan ini ada tiga pokok acara atau tiga acara utama yaitu: Memadik/Nyuwaka/Meminang, Widhi Widana dan terakhir Mepamit.

Tetapi sebelumnya, sebagaimana layaknya pasangan di zaman sekarang, pasangan calon pengantin ini juga melakukan sesi foto pre-wedding (tidak termasuk bagian dari ritual pernikahan), yang mengambil lokasi di Taman Ujung, Karangasem dengan pemandangannya yang indah. Bagi yang pernah berkunjung ke obyek wisata ini pasti sepakat kalau tempat ini cukup eksotis. Berikut adalah beberapa foto pre-wedding calon mempelai. 

1 (8) 1 (9) 1 (10) 1 (11) 1 (1) 1 (7)

Dalam postingan selanjutnya saya akan bercerita tentang rangkaian acara berikutnya yaitu Memadik/Nyuwaka/Meminang.

Suasana di sebuah acara pernikahan

Beberapa hari yang lalu saya menghadiri upacara pernikahan salah satu keponakan perempuan saya. Acara dilakukan di rumah mempelai pria yang terletak di daerah Sanur.

Kami disambut oleh tuan rumah dengan amat ramah dan hangat. Setelah menikmati minuman dan jajanan, beberapa saat kemudian acara puncak dimulai yang dilaksanakan di natar Merajan. Saya mengikuti setiap acara dengan serius. Di sebelah kanan saya berdiri seorang ibu berbaju biru yang juga memperhatikan dengan saksama setiap langkah upacara tersebut. Kadang ibu ini memberi pengarahan apa-apa langkah berikutnya. Tampaknya dia salah satu “tetua” di keluarga ini. Di sebelah kiri saya berdiri anak saya yang juga mengikuti semua acara dengan serius. .

Sesekali saya juga ngobrol dengan ibu ini. Rupanya dia sudah tahu bahwa saya adalah tante dari si pengantin wanita. Tiba-tiba dia berbisik.

“Siapa yang berdiri di sebelah Ibu?”

“Oh, anak saya, Bu.”

“Hm, sudah punya pacar?” bisiknya lagi.

“Belum,” jawab saya sambil tersenyum. Teringat anak saya sampai detik ini memang belum punya niat untuk pacaran. Masih ingin fokus di kuliahnya.

“Tyang “ngamprah”, nggih,” katanya masih berbisik.

Saya tak bisa menjawab, saya pikir dia pasti hanya bercanda. Saya pun hanya bisa menjawab dengan senyum. 

“Saya serius, Bu,” lanjutnya. “Saya mau kenalkan dengan keponakan saya, namanya Gung Ngurah, itu orangnya.” Dia menunjuk seorang pemuda berwajah kalem yang sedang sibuk dengan kamera DSLR-nya.  “Mudah-mudahan berjodoh,” sambungnya penuh harap sambil tersenyum manis.

Kemudian si ibu ini bercerita sedikit tentang si pemuda yang kini bekerja di Jakarta. Menceritakan kebaikan-kebaikannya, tentu saja. 

“Orangnya baik banget, Bu, patuh dan hormat pada orangtua.”

Hm, promosi yang menarik. 😉

Saya memperhatikan si pemuda yang masih sibuk memotret kedua pengantin yang sedang mengikuti ritual “Widhi Widana.” Berperawakan sedang dengan wajah yang  tenang.  

Setelah itu saya kembali mengalihkan perhatian kepada kedua pengantin yang saat itu sedang melakukan ritual “masak-masakan” dengan mengikuti arahan dari para tetua.

Tiba-tiba ibu di sebelah saya menggamit lengan saya.

“Bu, lihat ke depan, kita dipotret oleh Gung Ngurah,” serunya. Jelas terlihat si ibu ini amat bangga pada keponakannya.

Tepat saat saya memandang ke depan, pemuda itu sedang membidikkan lensanya ke arah kami. Klik. 

Wah, boleh juga nih jadi calon menantu. Tampaknya sih emang baik orangnya, semoga berjodoh. Lho?  Hehehe. 😀

Tapi sejujurnya, kalau soal pasangan hidup saya serahkan sepenuhnya kepada si anak. Saya tak mungkin memaksanya dengan pilihan saya. Yang bisa saya lakukan hanyalah memberi petuah, nasehat dan masukan demi masa depannya dan tentu saja akan melakukan “screening” untuk  bakal calon pendamping hidupnya. Bila perlu saya akan jadi agen spionase untuk menyelidiki sang bakal calon. 😀

Megedong-gedongan

Kemarin, Minggu, tanggal 10 Agustus, saya menghadiri upacara adat “Megedong-gedongan” untuk yang ke sekian kalinya. Sang calon ibu adalah mantu-ponakan (istri dari keponakan saya). Ini adalah kehamilan pertamanya yang ditunggu-tunggunya cukup lama.

Megedong-gedongan adalah suatu ritual untuk ibu hamil, pada saat  kehamilan sudah memasuki usia kurang lebih tujuh bulan. Ritual ini dilakukan di halaman Merajan (di ajeng Betara-Betari/ Leluhur) dengan permohonan khusus agar proses kelahiran nanti berlangsung lancar tanpa hambatan dan sang ibu serta bayinya berada dalam keadaan sehat, selamat tak kurang suatu apa pun.

Salah satu sesi yang paling menarik dalam acara ini adalah ketika sang calon ayah menusuk sebuah bungkusan cukup besar dengan bambu runcing. Bungkusan itu terbuat dari daun talas dan di dalamnya berisi air plus beberapa ekor ikan dan belut. Setelah ditusuk, bila yang keluar/jatuh pertama kali adalah ikan, maka diyakini sang bayi yang terlahir nanti adalah perempuan. Bila yang keluar adalah belut, maka dipercaya jenis kelamin sang bayi  yang terlahir adalah laki-laki.

Dan, saat itu ketika sang calon ayah menusuk bungkusan itu, yang keluar pertama adalah belut. Maka, menurut kepercayaan, mestinya sang bayi yang terlahir nanti berjenis kelamin laki-laki

Oh, ya, upacara ini agak terlambat dilaksanakan (usia kehamilan sudah lebih dari tujuh bulan), sebab kami harus menunggu selesainya masa  “cuntaka”  karena kami baru selesai melaksanakan upacara pelebon/ngaben ibu mertua saya. Dua belas hari setelah upacara ngaben, barulah “cuntaka” berakhir dan upacara ini baru bisa digelar.

Dan, saat itu ketika sang calon ayah menusuk bungkusan tersebut, yang keluar pertama adalah belut. Maka, menurut kepercayaan, mestinya sang bayi yang terlahir nanti berjenis kelamin laki-laki. Selama ini dari sekian kali saya menyaksikan upacara Megedong-gedongan, jenis kelamin bayi yang terlahir selalu sesuai dengan “ramalan” saat pelaksanaan Megedong-gedongan. Apakah kali ini akan sesuai juga? Mari kita tunggu hasilnya.

Tapi di atas segala-galanya, yang kami mohonkan adalah keselamatan sang ibu dan bayinya. Apa pun jenis kelaminnya, yang penting mereka selamat dan sehat lahir-batin. 

“Meceki”

Masih seputar cerita selama berada di kampung.

Sebelum hari H atau puncak pelaksanaan upacara ngaben ada beberapa ritual yang harus dilakukan. Di sela-sela ritual tersebut ada juga waktu-waktu kosong sambil menunggu acara berikutnya. Tak dipungkiri dalam acara adat seperti ini memang banyak menguras energi dan harus pandai-pandai memanfaatkan waktu luang untuk istirahat dan menyegarkan otak.

IMG_0016Ada berbagai cara yang dipakai untuk mengisi waktu luang sambil mengendorkan urat saraf. Salah satunya adalah “meceki” bagi orang yang bisa meceki. Mereka bilang permainan ini amat efektif untuk mengendorkan urat saraf yang tegang akibat kelelahan atau karena sering begadang.

Saya yang tidak bisa meceki hanya bisa jadi penonton. Kakak-kakak ipar membujuk saya agar ikut main dan mau belajar tapi saya benar-benar tidak mengerti. Saya sama sekali tak kebayang cara memainkannya.

“Gampang kok, tidak lebih susah dari menerjemahkan novel,” gurau salah satunya.

“Aduh, susah amat tampaknya, melihat macam-macam rupa kartu itu aja udah bikin bingung,” jawab saya.

“Ah, itu kan karena memang tidak ingin belajar,” jawabnya lagi.

Saya hanya bisa tersenyum karena terus-terang saya memang tak tertarik untuk meceki.

Tiba-tiba anak saya berseru.

“Ajung mau ikut, kaya’nya ini menyenangkan deh. Tapi ajarin,yaa!”

Tak sangka anak saya tertarik dan ingin belajar. Dengan senang hati kakak ipar mengajarinya. Pertama dia dikenalkan dengan nama-nama kartu itu dan aturan mainnya. Setelah sedikit mengerti dia langsung ikut main, tentu awalnya dengan didampingi gurunya.

IMG_0015Ternyata, oh, ternyata, anak saya bisa dengan cepat menyerap pelajarannya. Dengan segera dia bisa main dan itu membuatnya “bangga.” Dengan cepat dia mengerti istilah “mecari,” “soca” dan “ngandang.” Dan entah apalagi. Dia begitu senang karena dalam beberapa kali perputaran dia keluar sebagai pemenangnya. Sebagai pemain anyar tentu saja hal itu membuatnya senang.

Ketika saya memotret dan merekam permainan mereka anak saya berujar dengan kocaknya, “Jangan direkam, Ibuu, jangaaan, nanti Ajung digerebek polisi!”

Lebay nian nih anak. 😀

 

NB: Artikel ini juga dijadikan status di FB, 8 Agustus 2014

Bukan air mata buaya

Roaming! Mungkin ini istilah yang cukup tepat untuk menggambarkan pikiran saya ketika baru balik ke Denpasar setelah cukup lama berada di kampung. Pagi-pagi ketika baru bangun saya sempat blank dan bertanya-tanya saya ada di mana.

Kalau di kampung, saat baru bangun dan membuka mata, pandangan langsung tertuju ke jendela karena kebetulan tempat tidurnya menghadap jendela. Sedangkan di Denpasar, ketika baru bangun pandangan langsung jatuh ke lemari pakaian. Hal itu sempat membuat saya terdiam sejenak dan menyadar-nyadarkan diri bahwa saya ada di rumah di Denpasar.

Ada-ada saja. 😀

Saya berada di kampung cukup lama dalam rangka persiapan upacara ngaben sampai selesai pelaksanaannya. Ada banyak rangkaian ritual sebelum acara puncak pelebon atau ngaben. Dalam rangkaian ritual tersebut, ada peristiwa lucu terjadi pada saya, tepatnya, agak “memalukan.”

Ceritanya, hari itu ada ritual “Narpana” yang bertepatan dengan hari Tilem (bulan mati). Saat itu ada tiga orang yang “ngaturang” kidung/kekawin (macapat?) mengiringi ritual. Kebetulan saya yang mendampingi mereka (satu bapak dan dua orang ibu-ibu). Sesi kidung pertama dibawakan oleh salah satu ibu dan uraiannya (penjelasan isi kidung) dibawakan oleh si bapak. Ibu yang satu lagi duduk berdampingan dengan saya menunggu gilirannya.

Suara sang pelantun kidung itu benar-benar merdu dan bikin merinding. Saya mendengarkan dan menikmati kidung mereka plus uraiannya yang disampaikan oleh si bapak dalam Bahasa Bali halus.
Tapi sayangnya, walaupun saya menikmati alunan kidung tersebut, kantuk tetap menyerang. Memang selama di kampung jam tidur saya amat pendek, tak lebih dari dari 3-4 jam sehari. Saya berusaha setengah mati menahan kantuk dan berusaha jangan sampai menguap. Saya berhasil menahan diri untuk tidak menguap tetapi akibatnya air mata saya bercucuran karena menahan kantuk yang amat sangat.

Tentu saya ingin segera menghapus air mata yang berurai sebelum terlihat oleh para pelantun kidung terutama oleh ibu yang duduk di samping saya. Karena tidak membawa tisu, saya meraih ujung selendang yang saya pakai untuk menghapus air mata saya.

Sialnya, tepat saat saya mengangkat ujung selendang dan menghapus air mata, sang ibu di dekat saya menoleh. Saya tak bisa membatalkan gerakan saya. Si ibu menatap saya dengan heran kemudian tersenyum. Saya tahu dia melihat mata saya yang memerah dengan air mata yang bercucuran. Duh, apa yang harus saya katakan? Malu nian, sungguh!

Tiba-tiba ibu itu berkata sambil tetap tersenyum.

“Cerita kidungnya memang sedih, pasti terbawa perasaan, nggih? Tyang juga sering nangis kalau mendengar kekawin yang isinya mengharukan.”
Oh! Dia mengira saya benar-benar menangis karena isi kidungitu. Memang is kidung yang dilantunkan mereka bercerita tentang kesedihan Dewi Uttari ketika mendengar Abimanyu gugur di medan Kurusetra karena dikeroyok oleh pasukan Kurawa.

Saya bersyukur sangat mengenal kisah ini sehingga saya bisa “nyambung” dengan pembicaraan si ibu. Saya pun terlibat diskusi kecil dengan ibu itu membahas isi kidung. Saya terpaksa mengakui bahwa saya memang “nangis” karena kisah itu. Sebab sungguh tidak mungkin kalau saya bilang bahwa air mata ini keluar karena ngantuk yang amat sangat. Entahlah, apakah si ibu berkata jujur atau hanya kasihan agar saya tak salah tingkah?

Tapi yang jelas, itu bukan air mata buaya. 😉