Pengalaman ikut acara darat Grup Spiritual Indonesia

Dua bulan yang lalu, tepatnya 25 Mei 2013, saya menghadiri acara darat Grup Spiritual Indonesia (SI) yang diadakan di Denpasar. Awalnya saya tidak kenal grup ini, semuanya terjadi secara kebetulan.

Berawal dari ketika pihak Penerbit Dolphin menghubungi saya dan meminta saya untuk hadir di acara tersebut. Hubungan saya dengan Dolphin berawal ketika Dolphin butuh partner untuk membantu mengedarkan buku Gatholoco karya Mas Damar Shasangka yang tidak dijual di toko-toko buku. Sedangkan peminat buku itu di Bali, khususnya Denpasar amat banyak. Untuk meringakan calon pembeli agar tidak kena ongkos kirim yang cukup mahal dari Jakarta, Dolphin berinisiatif mencari partner yang berdomisili di Denpasar sehingga calon pembeli bisa mendapatkan buku ini dengan mudah.

Di samping buku Gatholoco, Dolphin juga mengirimi saya buku-buku karangan Pak Leonardo Rimba, yang merupakan ketua Grup SI ini. Karena itulah ketika SI akan mengadakan acara darat di Denpasar, pihak Dolphin menghubungi saya agar ikut hadir. Tadinya saya menolak karena merasa “tidak pantas” dan keder duluan. Bayangan saya, grup SI ini beranggotakan orang-orang “sakti” dengan berbagai kemampuan supranaturalnya. Secara moral dan etika. pihak Dolphin merasa berkewajiban untuk hadir dan membawa buku-buku Pak Leo. Tapi berhubung semua personil Dolphin sedang sibuk di Jakarta, untuk itulah mereka minta supaya saya yang mewakilinya.

Setelah mendengar penjelasan mereka, saya jadi tidak hati menolak, merasa jahat kalau tidak mau hadir. Akhirnya saya menyanggupi. Masalah berikutnya adalah, tidak ada yang saya kenal di anggota SI tersebut, apakah saya akan jadi kambing congek di sana? 😀 Beruntung, salah seorang sahabat FB saya, Mbak Piet Poeja, menyatakan akan hadir juga. Sekalipun saya belum pernah ketemu langsung dengan Mbak Piet, saya cukup senang, setidaknya ada yg saya kenal nanti. Yang juga menggembirakan adalah tempat acaranya di SMA Negeri 2 Denpasar, tempat yang amat saya kenal karena selama tiga tahun terakhir wara-wiri ke sana antar jemput anak yang sekolah di SMA tersebut. Setidaknya, saya tidak usah khawatir tersesat (maklum, tukang nyasar). 😀

Hari H, saya hadir tepat waktu, pukul sembilan sudah di tempat. Tapi ternyata tempat acara masih sepi. Belakangan saya baru tahu, acara diundur sejam. Makin siang satu per satu para spiritualis berdatangangan, yang berasal dari beberapa kota di Indonesia. Agak siangan Mbak Piet baru datang, dan begitu melihatnya saya langsung mengenalinya, begitu juga dia, langsung mengenali saya. Seketika kami bisa akrab seolah-olah sudah kenal bertahun-tahun. Sebenarnya saya juga menunggu-nunggu kedatangan Bapak Leonardo Rimba, sang ketua Grup SI ini. Tapi belakangan baru ada kabar bahwa Pak Leo berhalangan hadir.

Acara segera dimulai. Setelah pembukaan oleh beberapa pembicara, acara utama pun dimulai, yang mereka sebut “buka lapak” yang sesuai dengan keahlian masing-masing. Ada demo dari seorang ahli hipnoterapi. Ada ahli baca kartu tarot, ada ramalan dengan kartu Cina, ada lapak pembacaan garis tangan dan beberapa yang lainnya.
Saya memperhatikan dengan takjub semua acara itu. Saat itu semua peserta duduk di lantai yang beralaskan karpet dalam posisi melingkar. Di sebelah kiri saya duduk Mbak Piet, di sebelah kanan saya duduk seorang ibu, di sebelah kanan ibu ini duduk bapak-bapak yang berpakaian serba hitam.

Dari tadinya saya merasa bapak-bapak itu memandang saya beberapa kali, karena merasa dipandangin, saya pun menoleh dan tersenyum ramah. Begitu beberapa kali. Sampai akhirnya beberapa saat kemudian, dia mendekati saya dan bertanya sesuatu.
“Bu, kenapa masih menolak juga?” Tanya bapak itu tiba-tiba.
Tadinya saya pikir bukan saya yang diajak bicara. Tapi kemudian saya yakin sayalah yang diajak bicara.
“Saya? Saya menolak apa?” Saya menjawab dengan bingung.
“Iya, saya bertanya, kenapa Ibu masih menolak juga?” Dia menekankan pertanyaannya.
“Tapi, saya tidak mengerti, apa yang saya tolak?” Tetap bingung.
“Ibu harus segera ‘ngiring’, harus lho.”
Waduh!
“Kenapa Bapak bisa bilang begitu.”
“Saya bisa melihat dengan jelas dari wajah Ibu.”
Wah, saya ‘dibaca’ nih.
“Memangnya saya harus jadi apa? Saya harus bagaimana?” Jadi ingin tahu.
“Jadi healer.”
“Healer? Apa yang saya tahu?” Heran.
“Ibu tidak perlu belajar apa pun, semuanya sudah ada, semuanya datang sendiri, karena Ibu sudah terpilih untuk itu,” lanjutnya. Saya bengong.
“Dan saya bukan orang pertama yang bicara soal ini pada Ibu. Saya adalah orang ketiga.”
Saya tambah bengong, teringat memang sebelumnya ada orang yang berkata sejenis seperti ini, tapi saya tidak pernah memikirkannya.
“Tapi saya benar-benar tidak mengerti, saya tidak punya kemampuan apa pun untuk itu.”
“Apa yang Ibu tidak mengerti? Saya bisa melihat dengan jelas ada beberapa barang gaib yang datang ke rumah Ibu. Itu adalah sarana,” lanjutnya.
Terdiam.
“Sekarang tinggal kesediaan Ibu saja. Saya juga bisa melihat bahwa Ibu adalah orang yang sangat logis. Tidak mudah percaya pada sesuatu tanpa ada bukti.” Lagi-lagi bapak ini menebak sifat saya.
Masih diam.
“Saya tahu karena saya juga begitu,” katanya lagi.

Mbak Piet yang sedari tadi duduk di sebelah saya dan ikut mendengar percakapan kami, berkata, “Jadi, Mbok Desak ke sini bukan kebetulan, lho. Mbok memang harus datang ke sini, apa pun caranya.”

Saya masih diam. Terbayang beberapa benda ‘gaib’ yang datang ke rumah saya. Saya sendiri tidak tahu untuk apa benda-benda tersebut. Sementara disimpan saja dulu.
Di akhir percakapan, bapak itu memberi saya nomor HP dan berkata bila butuh bantuan atau bertanya sesuatu, bisa menghubungi dia. Tapi sampai saat ini saya belum pernah menghubunginya. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan jalan hidup saya ke depan. Untuk saat ini saya jalani saja dulu apa tugas dan kewajiban saya. Sebagai seorang ibu, sebagai seorang istri, sebagai makhluk sosial. Walaupun saya tidak bisa sempurna menjalankan semua peran tersebut. Kalau pun nanti ada tambahan peran lain, nanti saja dipikirkan. Untuk saat ini, saya meminjam kalimat sakti Pak Leo: “Enjoy aja….”

Belakangan ini anak saya sering menggoda saya. “Wah, jangan-jangan Ibu beneran mau jadi ‘dukun’. Tuh, sekarang aja Ibu sudah mirip seperti orang Gypsy, sudah mulai suka pake banyak asesoris kristal.” Katanya sambil menunjuk kalung dan dua gelang kristal yg saya pake.

Walah, itu sih ngga ada hubungannya, saya suka kristal-kristal ini, yaa, karena emang cantik. Walaupun sebelumnya saya termasuk orang yang tidak suka pakai asesoris, merasa gerak saya terganggu.

Sudahlah, pokoknya… enjoy aja (kata Pak Leo) 😀

8 thoughts on “Pengalaman ikut acara darat Grup Spiritual Indonesia

  1. salam kenal mbok desak, saya sering mengikuti tulisan SI, dan tertarik dengan SI, info ya kalau ada kegiatan SI di denpasar. Tiang juga masuk katagori susah percayaan pada dunia spiritual, kalau nggak ngeliat langsung atau mengalami sendiri, kalau masih “kata orang”, “pengalaman orang” susah percaya deh. Lagi pula kalau melihat fenomena spiritual, tak hubungkan dengan energi dan logika

  2. Selamat datang di persaudaraan abadi komunitas spiritual indonesia, salam kenal dari semarang. Entah kenapa pagi ini saya ingin mencari kata kunci tentang spiritual indonesia, akhirnya nyasarlah saya ke blog ini (sebenarnya tidak ada yang kebetulan, yang terjadi adalah sinkronitas).
    Suasana acara darat komunitas kita, tentu sangat jauh berbeda sekali dengan yang ada di internet, orang-orang itu, wajah-wajah itu, rasa-rasanya seperti teman-teman lama kita sendiri. Sebab kita adalah satu kesatuan, yang berbaur di dalam proses hidup dan kehidupan. Sahlam.

    • Pak Erwin, terima kasih atas kunjungannya ke blog ini, walaupun berawal dari nyasar. :D. Iya, Pak, saya juga percaya bahwa di dunia ini tidak ada yang kebetulan, Semua sudah diatur oleh semesta, hanya, kita yang tidak tahu. Saya juga yakin bahwa masing-masing dari kita mendapat “tugas” tertentu di dunia ini. 🙂

Leave a comment