Archive | March 2014

Penari

Saya sering mendapat pertanyaan apakah semua perempuan Bali bisa menari? Pada umumnya memang iya dan perempuan Bali sudah mulai latihan menari pada usia kanak-kanak walaupun hanya sebagian kecil yang akhirnya menjadi penari profesional.

Seperti halnya pengalaman saya sendiri. Saya ingat sekali, pertama kali latihan menari saat saya masih TK. Waktu itu ibu saya memanggil guru tari ke rumah yang kebetulan adalah sahabatnya dari Puri Kerambitan, Tabanan. Saya tidak ingat nama persisnya, yang jelas kami memanggilnya dengan sebutan Ibu Sagung. Waktu itu saya latihan bersama beberapa saudara sepupu.

Setelah pindah ke Denpasar (kami pindah ke Denpasar ketika saya kelas 3 SD), saya dan kakak perempuan latihan menari di Sanggar Warini. Setelah SMP saya dan kakak latihan di sanggar Pak Jayus (kalau tidak salah nama sanggarnya “Kumara” yang waktu itu terletak di Jalan Kenanga, Denpasar).

Setelah masuk SMA saya tidak masuk sanggar lagi, hanya ikut ekstra tari di sekolah. Saat duduk di SMA jugalah saya pernah masuk TV (cieeh, untung aja TV-nya ngga pecah). 😉 Waktu itu saya dan teman-teman menari janger. Setelah tamat SMA, “karir” menari saya pun tamat, karena merasa sudah “tua.” Ini karena saya bukan penari profesional. Saya menari waktu itu lebih ke hobi atau kebutuhan jiwa dan olah tubuh. Kalau pun pentas hanya sekitar pentas di panggung di kampung. 😀 Atau menari di Pura (tempat suci umat Hindu) kalau sedang ada perayaan Odalan. Tari-tarian untuk perayaan suci seperti ini adalah Tari Pendet atau Tari Rejang.

Tetapi yang memang berniat dan berbakat menjadi penari profesional, mereka tak akan pernah berhenti dan tak bisa dihalangi oleh usia. Ada banyak penari yang bahkan di usia lanjut pun masih menari karena itu sudah merupakan kebutuhan jiwanya.

deto tari baris

Deto sedang membawakan Tari Baris saat test kenaikan tingkat

Bukan hanya para perempuannya yang suka menari, lelaki Bali juga banyak yang jadi penari profesional walaupun tak sebanyak perempuannya. Salah satu keponakan saya (anak kedua dari adik laki-laki saya yang nomor empat) tampaknya akan jadi calon penari profesional. Dari SD dia sudah minta ikut sanggar tari. Ini murni dari keinginannya sendiri, bukan keinginan apalagi paksaan orangtuanya. Pada awalnya, orangtuanya sendiri agak kaget dengan permintaan anaknya, ini karena si anak termasuk anak badung dan tak pernah diduganya malah tertarik dengan dunia tari. Tapi karena dilihatnya si anak begitu serius dengan keinginannya, maka ortunya pun mencari sebuah sanggar tari yang benar-benar profesional. Di sanggar ini ada semacam jenjang/kelas, dan setiap tiga bulan sekali diadakan tes kenaikan tingkat (dengan pentas langsung) untuk melihat apakah si anak sudah pantas naik kelas.

 

Sang calon penari profesional sedang santai :D

Sang calon penari profesional sedang santai 😀

Rupanya darah penari anak ini mengalir deras dari kakek dan nenek saya yang dua-duanya merupakan pragina Arja (kesenian tradional Bali). Kakek waktu itu berperan sebagai Kartala (salah satu tokoh di Arja) dan nenek (yang konon waktu mudanya cantik jelita) berperan sebagai Galuh (atau tokoh tuan putri). Selain keponakan saya ini, sebelumnya tidak ada keturunan kakek yang menjadi penari profesional. Semua sebatas penari amatir yang hanya menari untuk acara-acara adat sebagai pelengkap upacara atau ritual.

Jadi, apakah semua perempuan Bali bisa menari? Jawabannya: sebagian besar, tapi tidak semua berakhir sebagai penari profesional.

deto nari

Deto in action.

Salah didik?

Pemilu legislatif tinggal beberapa hari lagi. Gambar-gambar para caleg masih banyak yang nangkring di pinggir-pinggir jalan dengan berbagai pose yang hampir semuanya meminta doa restu. Begitu juga di sekitar kompleks perumahan saya. Memang sebagian sudah dicopot tapi banyak juga yang masih dibiarkan di tempat.

Saya teringat pemilu sebelumnya. Saat itu anak saya masih duduk di bangku SMP. Pagi-pagi ketika hendak mengantar dia ke sekolah, pas di depan rumah, dia kaget melihat ada poster caleg yang dipaku di batang pohon cempaka di depan rumah. Saya masih ingat betapa anak saya marah sekali waktu itu.

“Bu, siapa yang memasang gambar ini?!” tanyanya.

“Yah, mana Ibu tahu, mungkin tim sukses si caleg.”

“Kok dipasang di pohon, sih? Dipaku pula, kapan sih mereka masangnya? Kasihan pohonnya, Bu!”

“Mungkin mereka masangnya pas malam hari, makanya kita ngga tahu,” jawab saya.

“Cabut, Bu! Kasihan pohonnya, coba kalau tubuh mereka dipaku kaya’ gitu, mau ngga?!” suaranya bergetar karena sedih dan marah.

Saya mengerti perasaannya. Dia sedih karena kasihan melihat batang cempaka tersebut dipaku seperti itu. Bekas-bekas tetesan getah batang cempaka yang mulai mengering masih kelihatan. Itu yang membuat perasaannya nelangsa. Dia membayangkan pohon itu menangis. Bayangkan, dia bahkan menyamakan batang pohon itu dengan batang tubuh manusia!

Apakah saya yang salah mendidiknya dari kecil sehingga dia menjadi sensitif begini? Entahlah. Getah pohon itu dianggapnya air mata. Dia merasa pohon tersebut kesakitan karena dipaku. Orang yang tidak mengerti perasaannya akan menganggap dia lebay, tapi mau gimana lagi? Begitulah dia.

Perasaan sedih bercampur kesalnya masih terbawa sepanjang perjalanan menuju sekolahnya. Dia bahkan berdoa semoga caleg-caleg yang menyakiti pepohonan itu tidak terpilih.

Beruntung pemilu kali ini tidak ada gambar caleg yang dipaku di pohon cempaka depan rumah. Kalau ada, saya juga yang akan repot membujuk dan menghiburnya. Terima kasih untuk para caleg yang sudah tidak memaku poster-posternya di dua pohon cempaka saya. 😀

Dikenali lewat suara

Suatu pagi di kantor pajak. Hari itu kantor pajak sungguh ramai, bukan hanya dipenuhi oleh wajib pajak yang menyetorkan laporan bulanan, tetapi terutama dipenuhi oleh orang-orang yang hendak menyetorkan SPT Tahunan berhubung deadline telah dekat. Saya duduk di deretan paling depan (hanya itu sih yang kosong) sambil memandangi orang-orang yang hilir-mudik ke depan menuju meja petugas. Saya melihat seorang ibu muda tinggi semampai yang cantik sekali, mirip Maia Estianti, berjalan ke arah saya dengan gelisah dan tampak agak bingung. Dia kemudian duduk di sebelah saya, satu-satunya kursi yang masih kosong. Rupanya dia baru menghadap petugas dan mungkin berkas laporannya dianggap ada yang salah atau kurang lengkap sehingga dikembalikan.

Saya tersenyum ramah ketika dia duduk di sebelah saya.

“Saya bingung, entah apanya lagi yang salah,” katanya pelan sambil membuka-buka berkas laporan pajaknya.

“Pak petugas tadi bilang apa, Bu? Dia ngga bilang salahnya apa?” tanya saya.

“Katanya saya harus membuat surat pernyataan, tapi surat pernyataan apa. Saya baru buka perusahaan, baru beberapa bulan,” lanjutnya.

Setelah bercakap-cakap beberapa saat saya mengerti bahwa ibu muda ini baru membuka laundry, tepatnya sedang dalam masa persiapan. Jadi, perusahaannya belum ada aktivitas. Tapi berhubung sudah ada NPWP, ada atau tidak ada aktivitas, tetap harus membuat laporan. Saya langsung mengerti apa yang dimaksud oleh petugas pajak tadi.

“Begini, Bu, surat pernyataan yang dimaksud oleh petugas tadi adalah sebuah surat yang isinya menyatakan bahwa perusahaan Ibu memang baru dibuat dan belum ada aktivitas sehingga laporan yang Ibu laporkan pun nihil,” saya berusaha menjelaskan apa yang saya tahu.

“Oh,begitu?”

“Iya, Bu, jangan lupa pakai meterai 6000. Walapun nihil, Ibu tetap harus melampirkan neraca dan laporan rugi-laba. Tidak masalah belum ada transaksi atau nilainya nol, yang penting tetap harus dilampirkan,” lanjut saya. Sedapat mungkin saya menyampaikan apa yang saya tahu karena kasihan jangan sampai dia harus bolak-balik disalahkan oleh petugas.

“Oh, makasih, Bu. Saya ngerti sekarang, untung saya ketemu Ibu,” senyumnya. Wajahnya lebih cerah, tidak sebingung tadi.

Setelah itu kami ngobrol santai, saling menanyakan tempat tinggal dan basa-basi lainnya. Kami juga bertukar nomor HP dan akun FB. 😀

Di tengah obrolan santai kami, tiba-tiba seseorang memanggil saya.

“Mbak Desak?” suaranya terdengar ragu. Saya menoleh dan mencari asal suara itu. Di sebelah kiri saya duduk seorang ibu yang sibuk dengan ponselnya. Di sebelah kiri ibu itulah ada seseorang yang sedang menjulurkan lehernya agar bisa melihat saya, sambil menyebut nama saya lagi.

“Iyaaa?” nada suara saya tak kalah ragu.

“Mbak Desak kan? Lupa sama saya, Mbak?” lanjutnya sambil tersenyum.

Saya mencoba mengingatnya. Rasanya kok tidak enak kalau saya langsung bilang lupa. Saya berusaha keras membongkar ingatan saya, berharap saya bisa segera mengenalinya.

“Bukan lupa, aduh… kapan ya kita ketemu terakhir? Rasanya sudah lama sekali, ya?” saya masih berusaha mengulur-ulur waktu.

“Iya, Mbak, lama banget, kita dulu sama-sama di ACC,” lanjutnya. Begitu menyebut nama ‘ACC’ ingatan saya langsung terang-benderang. Iya iya, perempuan ini adalah Yudit, teman sekantor waktu saya masih kerja di sebuah lembaga konsultan dan pendidikan komputer.

“Wah, Yudit! Berapa puluh tahun kita tidak ketemu?” saya merasa gembira dan lega sekali ketika berhasil mengingat namanya. Di tempat kerja saya dulu, saya termasuk karyawan angkatan pertama. Setelah saya sekian tahun bekerja di sana, Yudit baru masuk. Tapi beberapa bulan setelah dia masuk saya resign karena mau buka usaha sendiri bersama adik-adik. Jadi, saya tidak sempat bergaul lama dengan dia.

“Tadi saya tidak melihat ada Mbak Desak duduk di sini sampai saya mendengar Mbak bercakap-cakap dengan ibu itu. Saya langsung mengenali suara Mbak Desak.” Yudit tersenyum lebar.

“Wah, jadi, Yudit mengenali saya karena mendengar suara saya tadi?”

“Iya, Mbak, suara Mbak Desak khas sekali dan mudah dikenal,” katanya sambil tertawa. Kami kemudian ngobrol sebentar, nostalgia ceritanya. Beruntung ibu yang tadi main ponsel itu sudah mendapat giliran maju ke meja petugas sehingga kami bisa ngobrol dengan bebas.

Beberapa saat kemudian, nomot antrian Yudit mendapat giliran maju. Kami pun berpisah.

Hari itu, sepanjang perjalanan pulang saya senyum-senyum sendiri mengingat pertemuan kami. Bayangkan, setelah duapuluh tahun lebih tidak ketemu dia masih mengenali suara saya. Siapa sebenarnya yang hebat? Saya atau ingatannya dia? Saya cenderung pada pilihan yang kedua. Daya ingat Yudit yang luar biasa. 😀

Sepatu yang kekecilan

​Suatu pagi, ketika anak bersiap-siap hendak berangkat kuliah….

A. “Aduh, sepatunya kekecilan, sakit nih kakinya Ajung” (Sedikit cemberut)
I. “Lho, kemarin kan udah dicoba waktu mau beli itu? (Ini sepatu baru, baru beli kemarin *pengumuman* :D)
A. “Iyaa, kemarin waktu nyoba itu emang pas banget, Buuu. Pas banget!”
I. “Lha, kalau sudah pas, berarti ngga ada masalah dong?”
A. “Terlalu pas, Buuu, terlalu ketat.”
I. “Kalau gitu kenapa ambil yang ini?”
A. “Kan Ibu kemarin yang bilang, ngga apa2 agak pas, nanti akan melar setelah sekian kali pakai?” (Eh, Ibu lagi yang salah!)
I. “Yaa, namanya juga sepatu baru, nanti juga biasa kok. Udah pakai kaos kaki kan? Itu bisa mengurangi rasa sakit.”
A. “Udah pakai, tetap aja sakit nih.”
I. “Ya, sudah, jangan terlalu banyak mengeluh. Yang penting masih bisa dipakai. Lagipula, ngga mungkin ‘kan kalau kita mau tukar sekarang?” (Berusaha memberi pengertian dan realistis menghadapi kenyataan.)
A. “Iya sih, tapi jari-jarinya Ajung bisa mengecil semua karena kegencet ujung sepatu.”
I. “Lho… bagus dong, kan katanya jarinya jempol semua, kalau mengecil bagus dong.” (Mulai ketawa-ketiwi)
A. “Tapi… bukan berarti Ajung mau semua jari berubah jadi kelingking!” (Masih cemberut).

(Melihat mimik dan mendengar ucapannya, ketawa-ketiwi saya berubah jadi ngakak).

A. “Apa sih, Ibu?? Seneng banget!” (Dengan wajah sebel).

(Hey girl, pagi-pagi ngga boleh cemberut.Sambutlah dunia dengan ceria dan penuh senyum! *Cieeeh*. Ngakak saya makin menjadi-jadi dan susah berhenti, coba… semua jari (jempol) berubah jadi kelingking? Apa ngga lucu? Akhirnya, dia sendiri ikut ngakak). Sampai dalam perjalanan ke kampus masih senyam-senyum). 😀

*Pag-pagi udah dapat alasan ngakak*

NB: Tulisan ini pernah dijadikan status di FB.

Dipaksa anak menghapus status di FB

Harus diakui sebagian besar tulisan saya (baik yang berupa status di FB ataupun tulisan di blog) banyak terinspirasi oleh anak. Maksudnya, seringkali dia sebagai objek (bukan penderita) di tulisan tersebut.

Suatu hari dia berkata:
“Awas aja Ibu nulis yang ngga-ngga tentang Ajung, yaa. Jangan sampai Ajung bernasib seperti adiknya Raditya Dika yang sering dijadikan “korban” di tulisan-tulisan kakaknya.” Dia memang suka dengan tulisan-tulisan Raditya Dika.

Saya jawab:
“Tenang aja, Ibu akan nulis yang ‘iya-iya’ aja, kok. Bukan yang ‘ngga-ngga.’” 😀

Pernah suatu kali dia kurang berkenan dengan tulisan saya di sebuah status FB. Dia protes dan memaksa saya agar menghapus status tersebut. Saya jawab, “Iya iya, nanti Ibu hapus deh.” Tapi apa yang saya lakukan? Saya hanya ngeblok dia supaya tidak bisa membaca status tersebut sehingga dia berpikir bahwa status itu sudah saya hapus. Pinter kan emaknya? *Ibu kok dilawan* 😀

NB. Tulisan ini sudah pernah dijadikan status di FB pada tanggal 19 Maret 2014.

Mencari Lapangan Renon, jatuhnya ke Sanur

Saat masih duduk di bangku SMA, pelajaran olahraga seringkali dilaksanakan di Lapangan Niti Mandala, Renon. Biasanya saya diantar oleh kakak. Nah, hari itu saya jalan sendiri. Saya pikir karena sudah beberapa kali ke sana, saya pasti bisa mencari sendiri. Waktu itu rumah orangtua saya di Denpasar Timur (Daerah Kesiman). Untuk menuju ke Renon saya harus melewati jalan WR. Supratman, kemudian masuk ke jalan Nusa Indah untuk sampai ke jalan Hayam Wuruk. Setelah berada di jalan Hayam Wuruk, tujuan saya berikutnya adalah Bunderan Renon. Sampai di sini saya masih lancar-lancar saja.

Nah, ketika sampai di Bunderan Renon, saya mulai bingung. Mau belok kanan atau belok kiri. Seharusnya saya belok kanan untuk sampai ke daerah Renon. Tapi waktu itu saya malah belok kiri. Jelas saya salah total. Setelah berjalan sekian menit, saya mulai merasa aneh. Saya mulai sadar bahwa saya salah jalan. Lingkungan yang saya lewati terasa amat asing. Saya tambah bingung ketika melihat begitu banyak bule berkeliaran di jalan. Ya, ampun! Saya berada di Sanur!

Saya tidak tahu mesti bertanya pada siapa, saya tetap berkendara, pelan-pelan. Saya merasa begitu asing. Berasa berada di sekeliling alien. Jalanan sebagian besar dipenuhi bule yang berjalan kaki dengan santai. Dalam hati saya mulai panik. Bagaimana cara saya keluar dari sini? Tapi saya tetap berusaha tampak tenang walau pikiran saya kacau-balau.

Di tengah-tengah kebingungan, saya mendengar seseorang memanggil-manggil saya.

“Sak Manik… Sak Manik, jagi lunga kije niki?”

Hanya keluarga dekat atau orang yang sudah seperti keluarga yang memanggil saya dengan nama kecil itu. Berarti, ada orang yang mengenal saya di sini?

Saya menepi, kemudian menoleh ke belakang berusaha mencari sumber suara itu.

“Sak Maniiikk….”

Di belakang saya tampak seorang perempuan mengendarai sepeda gayung mendekati saya. Napasnya agak memburu. Rupanya tadi dia berusaha mengejar saya. Oh, saya mengenalnya! Dia adalah Mbok Dayu, istri dari salah satu kerabat bapak saya yang sudah seperti keluarga sendiri. Mbok Dayu ini sering berkunjung ke rumah saya dan tempat tinggalnya memang di Sanur. Tiba-tiba saya merasa lega sekali. Akhirnya, di antara para “alien” ini saya menemukan “seorang keluarga.”

“Sak Manik jagi kije niki? Ados sampai deriki?” Tampak jelas wajahnya penuh keheranan melihat pakaian yang saya kenakan. Tentu saja dia pantas heran. Dia tentu tidak mengerti kenapa saya yang berpakaian seragam olahraga berkendara tak tentu arah di daerah Sanur. Rupanya dia sudah melihat saya dari tadi. Karena saya hanya muter-muter bolak-balik di sekitar sana, dia mulai curiga. Lagipula, dia tahu persis saya tak ada kepentingan di daerah sana. Itulah yang membuatnya curiga bahwa ada yang salah dengan diri saya dan berusaha mengejar.

Saya kemudian bercerita bahwa tujuan saya adalah Lapangan Renon karena ada pelajaran olahraga pagi itu.

“Mimih Dewa Ratu! Mencari Lapangan Renon Sak Manik sampai ke Sanur??” serunya kaget.

Saya hanya meringis. “Tyang paling (saya tersesat).”

Mbok Dayu hanya bisa tertawa kasihan, kemudian memandu saya untuk mencari jalan pulang. Alhasil, hari itu saya terpaksa bolos olahraga. Jam olahraga sudah lewat dan teman-teman pasti sudah balik ke sekolah.

Sungguh pengalaman yang tak terlupakan di antara cerita-cerita tersesat lainnya.

(Sekarang ini saya tak akan tersesat lagi kalau mencari daerah Renon, sudah hapal). 😀

Lucid Dream

Lucid DreamKemarin saya membaca sinopsis sebuah buku yang muncul di Beranda FB saya, yang dijual secara online. Judulnya “Lucid Dream.” Kebiasaan saya adalah membaca semua sinopsis buku yang muncul di Beranda, begitu juga buku ini. Nah, setelah membaca semuanya, saya terkaget-kaget karena saya sering mengalami apa yang diuraikan di sana. Karena tertarik dan penasaran, saya langsung googling dan mencari penjelasan yang lebih mendetail.
Dari hasil googling sana-sini, saya mendapatkan beberapa fakta tentang Lucid Dream yaitu:

1. Lucid Dream adalah suatu kondisi saat kita bermimpi dan sadar sepenuhnya bahwa kita sedang bermimpi.
2. Mimpi yang kita alami terasa begitu nyata dan jelas.
3. Kita bisa mengontrol jalannya mimpi dan mengarahkan ending-nya.
4. Semua indria aktif.

Lalu apa perbedaan Lucid Dream (LD) dengan mimpi biasa? Kata kuncinya adalah: kesadaran. Dalam LD kita mengalami segala sesuatu yang terjadi dalam mimpi dengan sadar, dan saat terbangun kita mengingat semuanya dengan amat jelas. Sedangkan mimpi biasa, kita seolah-olah hanya melihat atau menyaksikan suatu kejadian dan saat terbangun kita tidak mengingat semua kejadian dalam mimpi itu, alias ada sebagian ingatan yang hilang.

Saya beberapa kali bahkan bisa dikatakan sering mengalami mimpi seperti itu. Hanya saja, saya tidak tahu bahwa itu yang namanya Lucid Dream. Terkadang saat terbangun saya bertanya-tanya, apakah yang saya alami tadi sebuah mimpi atau sebuah realitas. Begitu nyatanya sampai saya ragu-ragu sendiri. Saya sering berpikir dan merasa heran, kok mimpi saya aneh, sih. Sekarang, apa yang sebelumnya saya anggap aneh ternyata ada jawabannya, ternyata memang ada fenomena demikian.

Sering kali ketika sedang mimpi, saya berkata sendiri, “oh, saya ini sedang bermimpi.”

Salah satu mimpi saya yang terasa begitu nyata adalah ketika saya mimpi didatangi seseorang, bersalaman dan berkomunikasi dengan intens. Sangat jelas, saya benar-benar bisa merasakan sentuhannya ketika berjabat tangan. Tapi sekaligus juga saya tahu bahwa saya ada di alam mimpi. Saya bahkan sempat membuka mata sedikit dan melihat dengan jelas benda-benda di sekitar saya (lemari, meja, kursi, dsb.) Ibaratnya, kalau dalam LD kita makan makanan yang pedas, misalnya, kita benar-benar merasa kepedasan bahkan rasa pedas itu seolah-olah masih terasa di lidah ketika kita terbangun. Ini untuk menggambarkan betapa nyatanya terasa sebuah LD.

Di waktu yang lain, saya bermimpi dikejar seseorang (saya sebut saja penjahat). Saya berlari kesana-kemari dan ketika si penjahat sudah sedemikian dekatnya, saya “mengatur” diri supaya bisa terbang. Dan memang, seketika saya bisa terbang dengan mengepakkan kedua lengan (berfungsi sebagai sayap), maka selamatlah saya dari si penjahat. Mimpi seram seperti ini beberapa kali saya alami, dan tepat pada waktunya tiba-tiba saja saya bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri, yang di dunia realitas tidak mungkin bisa saya lakukan.

Lucid Dream bisa dilatih

Satu fakta lagi yang tak pernah terbayangkan oleh saya adalah, ternyata kita bisa melatih diri agar bisa mengalami LD. Ini juga membuat saya takjub, karena kita bisa merencanakan sebuah mimpi. Merencanakan? Sedangkan selama ini saya sering mengalami LD tanpa pernah memikirkannya sebelumnya, apalagi merencanakannya. Bahkan istilah LD baru saya kenal. Lalu apa manfaat LD sehingga ada orang yang mau bersusah-susah melakukan latihan tertentu untuk bisa mengalami LD?

Beberapa manfaat LD yang saya dapatkan dari hasil googling sana-sini adalah:
1. Meningkatkan kemampuan dalam memecahkan masalah
2. Mengatasi fobia dan trauma
3. Meningkatkan kreativitas
4. Menambah rasa percaya diri
5. Tanya jawab dengan alam bawah sadar kita
6. Sebagai sumber inspirasi (percayakah kita bahwa film “Avatar” yang menghebohkan itu berawal dari sebuah Lucid Dream?)
7. Melatih sesuatu yang di dunia realitas belum bisa dilakukan
8. Mampu menghentikan mimpi yang menyeramkan (mungkin semacam mimpi saya di atas, yang bisa menghindar dari penjahat).

Nah, tampaknya saya harus membaca bukunya selengkapnya agar bisa memahami kenapa dikatakan LD mempunyai manfaat seperti di atas.
Memang keberadaan LD sudah diakui keberadaannya oleh para ahli dan sudah dilakukan penelitian ilmiah tentang hal itu.

Mimpi nyata vs mimpi yang jadi kenyataan

Lucid Dream mungkin bisa juga dikatakan sebagai “mimpi yang begitu nyata” tapi tentu berbeda dengan “mimpi yang jadi kenyataan.”
Perlu diingat bahwa LD tetaplah sebuah mimpi dan apa yang terjadi di sana dan apa yang betul-betul kita rasakan di sana, tetap bukanlah sebuah realitas. Sehingga disarankan, untuk yang sudah benar-benar mahir melakukan LD jangan sampai ketagihan (ternyata ada yang ketagihan, lho). 😀

Mimpi yang jadi kenyataan adalah semacam firasat atau isyarat atau peringatan yang diberikan lewat mimpi, bahwa akan terjadi sesuatu di dunia nyata kita. Isyarat tersebut bisa membuat kita untuk lebih berhati-hati dan waspada.

Ibu saya termasuk orang yang paling sering mengalami mimpi seperti itu. Saya ingat, dulu waktu masih kuliah, pernah suatu pagi Ibu berpesan: “Nanti hati-hati di jalan ya, kemarin malam Ibu mimpi kamu jatuh saat naik motor.”
Dan benar, sore itu saya jatuh di depan kampus. Tapi karena selalu teringat dengan pesan Ibu, saya memang ekstra hati-hati. Sehingga detik-detik saya akan jatuh, saya sangat sadar dan masih bisa mengontrol diri sehingga kondisi jatuh saya tidak parah.

Contoh lain, dulu Bapak saya bekerja di bidang pariwisata. Sebelum mendapat “rezeki nomplok”, Ibu selalu tahu lebih awal. Pagi-pagi, sebelum Bapak berangkat kerja, Ibu akan berkata: “Nanti akan dapat komisi banyak dari seorang tamu yang belanja banyak di sebuah Art Shop.” Bapak yang merasa tidak punya tamu seperti itu akan menjawab: “Ngga mungkinlah, saya ngga punya tamu hari ini.”
Apa yang terjadi? Apa yang dikatakan Ibu memang menjadi kenyataan. Itu terjadi berulang-ulang. Dalam banyak hal, Ibu selalu tahu lebih awal kalau akan terjadi sesuatu. Rupanya pesan-pesan tersebut didapatnya lewat mimpi.

Saya pernah mengalami hal serupa. Dalam mimpi saya didatangi oleh seseorang yang kemudian menyerahkan sebuah benda kepada saya. Benda itu diletakkan begitu saja di atas telapak tangan. Mimpi yang persis sama terulang dua kali dalam minggu itu. Dan? Beberapa hari kemudian ada seseorang yang tak saya kenal datang membawa benda yang persis sama dengan benda yang saya terima dalam mimpi. Tak beda sedikit pun. Benda itu masih saya simpan sampai sekarang.

Beberapa kali saya mengalami mimpi yang sejenis.
Kenapa bisa demikian? Saya pernah membaca di sebuah forum diskusi, bahwa mimpi yang saya alami itu adalah semacam “bocoran informasi” dari alam. Alam sepertinya memberi info bahwa saya akan mengalami hal itu dan bawah sadar saya “menangkap” gelombang bocoran tersebut, menyimpannya, kemudian menyampaikannya lewat mimpi. Kira-kira demikian. Begitu juga yang dialami oleh ibu saya.

Contoh-contoh yang terakhir itu jelas bukan Lucid Dream tapi mimpi yang jadi kenyataan. 😀

Wah, ternyata dunia mimpi itu memang penuh misteri. Atau, otak manusiakah yang penuh misteri?

 

Sumber gambar: https://www.google.co.id/search?q=Lucid+Dream&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei=7QAUU4_nOobGrAfXmIG4Aw&ved=0CAcQ_AUoAQ&biw=1252&bih=609#facrc=_&imgdii=_&imgrc=khp1bjzYleRPSM%253A%3BfEWIjsXI_mLOYM%3Bhttp%253A%252F%252Fwww.lucid-mind-center.com%252Fimages%252Fgirl-flying-lucid650.jpg%3Bhttp%253A%252F%252Fwww.lucid-mind-center.com%252Fwhat-is-lucid-dreaming.html%3B650%3B650