Hari ini, Sabtu, 14 Sept 2013, rangkaian upacara Rsi Ghana dan Odalan di rumah saya yang di Denpasar dimulai. Puncak acaranya sendiri pada tanggal 18 Sept 2013, yaitu Buda Kliwon Gumbreg yang bertepatan dengan tegak Odalan di Merajan.
Tujuan pertama hari ini adalah ke Pura Bukit, yang terletak di Desa Bukit Karangasem. Yang melingga di pura ini adalah Bhatara Alit Sakti yang merupakan keturunan dari Kerajaan Karangasem dan Ida Bhatara Lingsir Gunung Agung (sejarah tentang Pura Bukit ini akan saya ceritakan dalam tulisan tersendiri nanti).
Kami berangkat dari Denpasar kira-kira pukul sembilan pagi. Singgah ke Tohpati untuk menjemput kakak yang juga ikut ke Pura Bukit, perjalanan agak terlambat karena kakak ini kesulitan meninggalkan cucunya yang nangis terus. Akhirnya pukul satu lewat kami sampai di Pura Bukit. Ini agak terlambat dari jadwal semula. Kami segera memulai melakukan ritual ‘matur uning’ dan nunas ‘tirtha’ (air suci) untuk keperluan upacara nanti. Sarana yang kami pergunakan adalah Pejati. Dilanjutkan dengan ‘muspa’.
Selesai ritual di Pura Bukit, kami langsung meluncur ke rumah di Karangasem, yaitu Puri Agung Karangasem (Puri Kanginan), untuk ‘tangkil’ di Merajan Agung dengan tujuan sama yaitu ‘matur uning” dan nunas ‘tirtha’ sehubungan karya nanti. Kami mohon agar para leluhur merestui pekerjaan yang akan kami lakukan dan memberi segala kemudahan.
Setelah selesai di merajan, setelah ngobrol sejenak dengan para semeton, kami langsung menuju Pura Penataran Gunung Agung (Pura Dasar Gunung Agung) yang terletak di Desa Nangka, Karangasem, sehingga sering juga disebut Pura Nangka. Pura ini terletak di kaki Gunung Agung dan ada keterkaitan erat dengan Pura Bukit (yang akan kami ceritakan nanti). Medannya tidak terlalu sulit, tetapi jalannya sempit dan di kiri-kanan curam. Kami juga melewati beberapa areal Galian-C (tambang pasir dan batu) yang merupakan sisa-sisa material saat Gunung Agung meletus lima puluh tahun silam. Kalau yang tidak mahir nyetir mobil, tidak disarankan mengemudikan mobil sendiri ke daerah ini. Di samping jalanan yang sempit, kami juga sering berpapasan dengan truk-truk pengangkut pasir.
Jalan makin menanjak, kabut mulai turun dan jarak pandang makin dekat. Benar-benar membutuhkan kemampuan mengemudi yang tinggi. Saya ingat, duluuu banget waktu mendaki Gunung Agung, jalan inilah yang dilalui untuk mencapai kaki Gunung Agung sebelum mencapai kaki gunung yang sebenarnya dan mulai mendaki.
Kurang lebih jam setengah lima sore, kami sampai di tempat. Di samping kabut yang makin pekat, kami juga disambut oleh gerimis. Dingin? Tentu saja, sudah kabut tebal, gerimis pula. Pura ini sedang dalam proses perbaikan dan belum selesai pengerjaannya. Tembok penyengker belum ada, rupa ‘bencingah’ juga belum kelihatan. Tanpa membuang waktu, kami langsung memulai ritual karena kami berpikir kalau hari makin sore kabut akan makin tebal dan akan menyulitkan kami untuk mencari jalan pulang. Di bawah gerimis, kami menggelar Pejati dan menghaturkan canang, dilanjutkan dengan ‘muspa’ (sembahyang dengan sarana bunga wangi dan dupa). Permohonan kami juga sama yaitu ‘nunas tirtha’ dan memohon kelancaran dalam melakukan upacara Rsi Gana & Odalan nantinya.
Setelah selesai melakukan ritual persembahyangan, gerimis perlahan berhenti. Cuaca pun sedikit terang, kabut sedikit menipis seolah-olah memberikan jalan pada kami agar bisa pulang tanpa kesulitan. Dalam hati saya amat bersyukur dan matur suksma yang begitu besar pada Ida Bhatara yang melingga di sana.
Kami langsung pulang ke Denpasar tanpa hambatan dan sampai di rumah kira-kira pukul setengah sembilan malam. Esoknya (Minggu, 15 Sept 2013), kami berencana untuk tangkil ke Pura Uluwatu dan Pura Dalem Segara. Semoga dimudahkan segalanya. Astungkara.
(Bersambung)