Tag Archive | Fragile

Hidup Yang “Fragile” (2)

gelas retakSebulan yang lalu saya menulis sebuah artikel dengan judul yang sama. Iya, cerita tentang kehidupan yang berteman kematian memang tak akan pernah habis. Saya menulis artikel tersebut untuk mengenang adik ipar saya (suami dari adik saya yang nomor 5) yang kepergiannya  meninggalkan duka mendalam bagi keluarganya.

Saat itu tanggal 19 November 2020, saya masih berada di setra (kuburan) untuk mengikuti ritual ngaben (kremasi jenazah adik ipar ini), ketika saya menerima kabar bahwa suami dari kakak sepupu saya meninggal mendadak. Kami semua tentu kaget. Pasalnya, kakak ipar ini tidak mempunyai riwayat sakit. Paginya masih sehat wal’afiat ketika hendak berangkat ke kampus. Kakak ipar ini seorang dokter spesialis kulit sekaligus seorang Guru Besar di FK Unud. 

Cerita yang saya dengar dari keluarga dekat almarhum,  pagi itu almarhum berangkat  bersama sopir pribadinya ke kampus hendak menghadiri rapat dengan Dekan. Setiba di pelataran parkir, almarhum merasa tidak enak badan lalu menyuruh sang sopir untuk naik ke ruang dekan dan menyampaikan pesannya bahwa almarhum tidak bisa ikut rapat.  Almarhum juga berpesan agar sang sopir segera kembali untuk segera mengantarnya ke RS. Rupanya saat itu almarhum betul-betul merasa butuh bantuan medis secepatnya. 

Setelah menyampaikan pesan, sang sopir bergegas ke mobil dan segera meluncur menuju RS Sanglah yang letaknya tak terlalu jauh dari kampus Unud. Begitu sampai di IGD, almarhum langsung ditangani dan diberikan pertolongan pertama. Almarhum sempat berkata berulang-ulang: “Mati dah saya sekarang.”

Segala cara telah dilakukan oleh petugas medis, tetapi nyawa almarhum tak tertolong. Penyebab kepergian almarhum dinyatakan karena serangan jantung.

Sungguh, apa yang lebih “fragile” dari hidup ini?

Ketika saya datang ke rumah duka, saya sempat ngobrol dengan kakak sepupu (istri almarhum). Kakak ini bercerita betapa almarhum sangat menjalankan hidup sehat. Semua serba teratur. Tidak mau makan sembarangan. Almarhum bahkan sering mengomeli sang istri yang dianggapnya sering makan makanan tak sehat. Kalau  mau makan daging ayam, tidak boleh makan pahanya, lehernya, cekernya, jeroannya, dsb.

Sang istri yang sering kesal dengan segala larangannya, menjawab dengan santai: “Baiklah, kalau begitu saya akan masak sop bulu ayam dan tahi ayam.”

“Coba pikir, begitu ketatnya dia menjaga kesehatan, makan sehat dan teratur, olah raga teratur, kok dia mati juga?” kata sang istri dengan mimik yang susah dijelaskan. Antara tertawa dan menangis. 

Yah, begitulah, kalau sudah tiba saatnya, kita tak bisa bicara apa pun. Kematian adalah misteri. Hanya Tuhan yang tahu kapan kita harus meninggalkan dunia ini untuk kembali kepada-Nya.

Namun, itu tidak lantas membuat kita hidup sembarangan kan? Kita tetap harus berusaha menjaga kesehatan semaksimal mungkin, karena kalau kita tetap sehat, setidaknya kualitas hidup kita akan bagus.  Seperti almarhum ini, sepanjang hidupnya almarhum selalu sehat, tidak pernah sakit serius sehingga bisa melakukan semua aktivitasnya dengan baik.

Sekali lagi pepatah “Manusia mati meninggalkan nama dan gajah mati meninggalkan gading” terbukti sangat benar. Selama hidupnya almarhum dikenal sebagai orang yang suka menolong. Suka melakukan yadnya. 

Ibu saya beberapa kali menjadi pasiennya karena sempat bermasalah dengan kulitnya yang sensitif.  Waktu masih gadis saya juga sempat menjadi pasiennya karena jerawat membandel di wajah.  Karena selalu tidak dikasih bayar, ibu saya merasa tak enak hati juga. Suatu saat ibu mencoba untuk membayar. Almarhum langsung bilang: “Tante, tolong dong kasih saya kesempatan untuk meyadnya.”

Begitulah, berakhirlah perjalanan seorang insan di dunia ini. Kebaikannya akan selalu dikenang.

Hidup ini memang seperti gelas kaca yang begitu “fragile” dan mudah pecah berkeping-keping.

 

Sumber gambar: dari Google.

Hidup Yang “Fragile”

Apa yang lebih fragile dari hidup ini?  Ketika kita masih berusia belasan tahun atau usia 20-an, kita mungkin tidak pernah berpikir tentang betapa fragile-nya hidup ini. “Hidup ini singkat!” Mungkin kita sering mendengar ungkapan ini, tetapi kita tidak pernah benar-benar memikirkannya.

Kini, ketika usia saya sudah 50-an, saya semakin menyadari betapa singkatnya hidup ini. Berapa lama kita akan berada di dunia ini? Kita tak pernah tahu. Mungkin besok atau lusa Tuhan akan memanggil kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha berbuat baik sebanyak mungkin selama kita masih punya napas. Karena hanya karma yang bisa kita bawa ketika tiba saatnya Tuhan memanggil kita.

Tulisan ini saya buat untuk mengenang adik ipar saya (suami dari adik saya yang nomor 5), yang telah berpulang tanggal 4 November 2020. Mestinya, tanggal 5 Desember 2020 mendiang merayakan ultahnya yang ke-54. Namun, Tuhan berkehendak lain. Sebulan sebelum ultahnya, Tuhan telah memanggilnya pulang, meninggalkan istri dan dua anaknya yang baru menginjak remaja. Bisa dibilang mendiang pergi ketika sedang berada di puncak karir dan sangat produktif. Di mata saya mendiang adalah sosok pekerja keras dan sangat bertanggung jawab.

Masih banyak keinginan mendiang yang belum sempat diwujudkannya karena waktu tinggalnya di bumi ini sudah habis. Tak usah diceritakan bagaimana kedukaan yang melanda istri dan anak-anaknya, tetapi mereka harus ikhlas melepas kepergiannya. Setelah upacara pengabenan dan ritual lainnya selesai, sang istri harus mulai menata hidupnya.

Ada saat-saat ketika si istri tidak bisa menahan kesedihan ketika staf Humas mendiang menghubunginya dan mengatakan: ”Ibu, saya sebenarnya disuruh oleh Bapak mencari tiket promo ke luar untuk liburan sama keluarga. Ternyata, Bapak pergi duluan.”

Kemudian seorang mantan mahasiswanya yang tinggal di Labuah Bajo juga menghubungi si istri dan bilang, “Ibu, Bapak janji Oktober tahun ini mau datang ke Labuan Bajo lagi bersama keluarganya, tapi… Bapak keburu sakit dan sekarang malah sudah ngga ada.”

Iya, manusia hanya bisa berencana, tetapi Tuhan yang menentukan.

Yang agak menghibur adalah, begitu banyak keluarga, teman, kolega, kerabat yang mendoakan mendiang dan menunjukkan simpatinya baik berupa moril maupun materil.

Benar kata pepatah, “Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.”

Semasa hidupnya mendiang memang banyak membantu orang. Begitu banyak yang merasa hidupnya atau masalahnya dimudahkan oleh mendiang sehingga jasanya tak pernah dilupakan. Begitu juga di tempatnya bekerja. Mendiang banyak membuat terobosan dan inovasi-inovasi untuk kemajuan institusi tempatnya bekerja. Mendiang memang sangat mencintai pekerjaannya dan tempat di mana dia bekerja.

Karma baik yang dibuat selama hidupnya mulai memberi dampak untuk keluarga yang ditinggalkannya. Anak pertamanya baru kuliah semester I. Pihak kampus tempatnya kuliah memberikan beasiswa untuk si anak sampai tamat. Lalu, menyusul anaknya yang kedua, yang baru duduk di kelas 3 SMP, juga mendapat beasiswa (bebas SPP) dari sekolahnya. Ternyata orang Tata Usaha di SMP ini adalah mantan mahasiswa mendiang.

“Bapak ini dosen saya yang paling baik, Bu. Saya sangat berterima kasih karena Bapak sering membantu saya. Saya sangat sedih ketika mendengar Bapak sudah tiada,” katanya.

Untuk menunjukkan terima kasihnya, orang TU ini lalu memproses segala sesuatunya agar si anak bisa mendapatkan beasiswa.

Setidaknya, bantuan ini sedikit banyak  meringankan beban si istri yang selama ini memang tidak bekerja dan sekarang harus kehilangan tulang punggung keluarga.

Memang mendiang meninggalkan cukup materi untuk biaya hidup keluarganya, minimal sampai si anak bisa mandiri, tetapi tetap saja si istri merasa agak was-was.  Tuhan Maha Besar, karena Dia memanggilnya pada saat mendiang masih punya tanggung jawab, Tuhan pun tidak tinggal diam. Sampai sebulan setelah meninggalnya, bantuan materi masih mengalir dari rekan-rekan mendiang. Tak dipungkiri tentu ini akibat dari tabungan karma baik yang dibuat oleh mendiang.

Semoga keluarga yang ditinggalkannya senantiasa dalam perlindungan Tuhan, dan segala urusannya agar selalu dimudahkan. Swaha.