Archive | April 2013

Pesona Penyingkap Makna: Sebuah Kado Spesial

AImagekhirnya, buku Bahtera ke-3 yang lama ditunggu-tunggu kini sudah siap terbit, siap edar. Buku antologi yang diberi judul Pesona Penyingkap Makna (PPM) ini memuat tulisan beberapa  penerjemah yang menuliskan berbagai hal tentang dunia penerjemahan. Di buku ini saya menyumbang dua tulisan seperti juga pada buku sebelumnya, Buku Bahtera ke-2 yang berjudul Menatah Makna.

Saya tidak akan berpanjang kata tentang buku keren ini. Isi selengkapnya bisa dibaca di sini. Tapi ada satu hal yang membuat saya senang dan akan tercatat dalam sejarah hidup saya *halah* ;-), karena buku ini akan diluncurkan secara resmi  pada tanggal 20 April 2013, yang bertepatan dengan hari ulang tahun saya, dan bertempat di Almamater saya, kampus Universitas Warmadewa Denpasar. Hari itu bertepatan juga dengan peresmian Komda HPI Bali-Nusra dan Seminar bertajuk “Not Lost in Translation”. Sebuah kebetulan yang menyenangkan, bukan? 😀

Jadi, boleh dong saya merasa buku ini sebagai kado ulang tahun spesial bagi saya. 😀

Oh, ya, buku PPM ini dibandrol dengan harga Rp. 65.000,- plus ongkos kirim. Untuk pemesanan silakan hubungi Ibu Sofia F. Mansoor di alamat email sofiamansoor@gmail.com.

(Ssst, saya masih belajar menjadi penulis, dan sampai saat ini masih menyimpan obsesi untuk menulis sebuah novel. Tema sudah ada, kerangka sudah ada, tinggal menulis saja, tapiiii… kapan mulainya yaa). 😀

…kalau ngga? Wassalam!

Beberapa hari terakhir ini, saya melihat anak saya  sangat sibuk. Di samping mengerjakan tugas-tugas tetapnya (kuliah, praktikum, membuat jurnal, membuat laporan-laporan praktikum dan tugas-tugas lainnya), sekarang ditambah lagi aktivitas lain yang berkaitan dengan Dies Natalis kampusnya.  Ada berbagai macam lomba dan pertandingan olah raga dalam rangka Dies Natalis ini.

Sebagai salah satu anggota tim lomba debat Bahasa Inggris, dia harus latihan intensif  bersama timnya. Kemudian harus juga mempersiapkan diri sebagai dancer untuk acara puncak perayaan.  Ini penunjukan yang tidak bisa ditolaknya. Harus juga menjadi supporter ketika teman-temannya bertanding. Di satu sisi, tugas-tugas kuliah tak boleh ditinggalkan dan harus kumpul tepat waktu. Tak ada dispensasi. Dia merasa benar-benar kekurangan waktu.

Semalam, hampir tengah malam, saya melihat dia ketiduran di depan PC. Saya membangunkannya dan menyuruh pindah ke kamar supaya tidur aja dulu.  “Tapi tugas untuk besok belum selesai, Bu,” katanya. Saya jawab, “Lebih baik lanjutkan besok pagi, bangun lebih awal. Nanti Ibu bangunin.”

Pagi tadi, saya bangun pukul 4, melihat tidurnya yang begitu nyenyak dan tampak kelelahan, saya tidak tega membangunkannya. Saya membiarkannya dulu dan lanjut menerjemah. Tapi, karena dia harus melanjutkan membuat tugasnya, saya harus membangunkannya. Begitu saya bangunkan, dia terloncat dan ucapan pertama yang terlontar adalah: “Aduh, tugas Ajung belum selesai.” Hampir nangis. Saya berusaha menenangkannya. “Iyaa, kerjakan sekarang aja, pasti selesai kok. Masih ada waktu.”

Saya tahu dia sudah berusaha mengatur waktu dan memanfaatkan setiap waktu yang ada. Saya juga tidak bisa banyak membantu, paling yang bisa dibantu hanya nge-print tugas yang telah selesai dibuat. Itu pun kalau tugasnya boleh diketik, karena sebagian tugasnya harus ditulis tangan.

Untuk mengurangi bebannya, saya selalu berusaha merespon dan memberi perhatian penuh setiap dia bercerita, tentang apa pun. Menjadi pendengar yang baik dan memberi masukan sesekali. Di sela-sela percakapan itu, saya berusaha memancing canda untuk membuatnya tertawa, atau minimal tersenyum, agar wajahnya tidak tertekuk begitu. Karena pada dasarnya dia memang periang (sekaligus juga sangat perasa), beberapa kali saya berhasil membuatnya ngakak. Saya percaya, tertawa adalah obat stress terbaik.

Semangat, Nak. Kamu pasti bisa!

Tapi dia sendiri tampaknya juga sudah sadar, bahwa anak-anak Analis Kesehatan harus kuat dan tahan banting, kalau ngga… wassalam! 😀

Lagi dan Lagi…

Kejadian seperti ini terjadi lagi, lagi dan lagi, tampaknya saya akan selalu mengalaminya.

Beberapa hari yang lalu, menjelang sore, seorang ibu (mantan murid privat saya), muncul di rumah saya dengan wajah lelah. Melihat wajahnya, saya sudah feeling, pasti saya akan ditodong untuk melakukan sesuatu yang tidak dapat saya tolak.
Benar saja. Dengan wajah memelas, dia menceritakan masalahnya. Ibu ini seorang guru SD yang kuliah lagi dan baru saja lulus ujian skripsi. Untuk bisa ikut wisuda, dia harus melengkapi semua pesyaratan yang ditentukan. Saat itulah dia baru sadar, nilai SKS-nya kurang. Oleh dosen mata kuliah tersebut dia diberikan solusi untuk mengikuti semester pendek, untuk bisa memenuhi kekurangan SKS-nya. Salah satu tugas kuliah semester pendek itu adalah menerjemahkan sebuah jurnal kemudian membuat resume.
Di sinilah masalahnya. Dia perlu bantuan menerjemahkan jurnal tersebut agar bisa membuat resumenya. Untuk itulah dia datang dan minta bantuan saya. Kalau saja waktu yang diberikan cukup lama, tentu tidak masalah bagi saya. Dia datang menjelang sore, dan resumenya harus dikumpul esok sorenya (dia kuliah sore). Tentu saja saya langsung menolak, mengingat pekerjaan saya yang juga sudah mepet-mepet deadline. Dan… seperti biasa juga, ibu ini mulai berkata-kata yang membuat saya “lemah.”.  “Kalau Ibu tidak membantu saya, berarti… saya tidak bisa ikut wisuda periode ini, berarti juga saya harus mengulang satu semester. Artinya, saya harus membayar SPP lagi, artinya….dsb.”
Saya berusaha memberi penjelasan, sehalus mungkin, bahwa menerjemahkan jurnal ilmiah sebanyak 10425 kata bukanlah perkara gampang, tidak akan bisa selesai dalam waktu sekejap. Wajahnya makin memelas dan memohon dengan amat sangat. Akhirnya, hati saya runtuh juga. Saya tidak punya pilihan lain. Dengan menarik napas panjaaaaaaaaaang banget, saya akhirnya menyanggupinya. Tapi saya juga mengatakan bahwa hasil terjemahan saya kemungkinan tidak akan sempurna. Sore itu saya mulai bekerja dengan terlebih dahulu menghubungi murid privat saya yang mestinya ada jadwal les malam itu. Untunglah si murid penuh pengertian.
Saya juga minta bantuan adik saya untuk membantu sebagian, karena mustahil saya bisa menerjemahkan dalam sehari semalam sekian kata. Saya hampir tidak tidur mengerjakan jurnal tersebut. Akhirnya, selesai juga. Esok sorenya ibu itu datang, dan dengan terus terang saya bilang bahwa saya tidak sempat ngedit lagi. Tidak ada waktu. Ibu tersebut tidak mempermasalahkan, yang penting dia bisa membuat resume dari hasil terjemahan itu.
Dan… berapa saya dibayar? Mestinya, untuk rush job seperti itu, saya dibayar lebih mahal, bukan? Iya, saya dibayar dengan bayaran yang amat “mahal”, beribu-ribu terima kasih plus doa semoga Tuhan senantiasa melindungi saya dan membalas kebaikan saya, plus uang seratus ribu. 😀
Saya ikhlas. Apalagi saya tahu terjemahan itu bukanlah untuk kepentingan bisnis, dan, saya juga tahu kehidupan ibu itu yang cukup sederhana. Walaupun saya juga tak kalah sederhana. 😀
Tapi, di atas segalanya, meskipun capek, saya juga senang bisa membantu orang yang benar-benar membutuhkan bantuan.

Di zaman edan ini masih ada orang baik? Masih!

Masih percaya di zaman edan ini ada banyak orang baik? Masih!  Tidak percaya? Ini salah satu buktinya.

Hari menjelang siang, ketika saya baru saja datang dari pura di Balai Banjar  di depan rumah. Saat itu saya baru selesai “mebanten”, dan baru saja masuk ke halaman rumah ketika terdengar ada suara derung mobil yang tidak biasa. Rupanya  sebuah mobil pick-up yang sarat muatan.  Jalan di depan rumah saya ini memang agak menanjak dan tampaknya mobil itu tidak kuat melintasi jalan menanjak itu. Entah karena muatannya yang terlalu berat atau kesalahan si pengemudi .  Tepat di pertengahan jalan menanjak tersebut, mesin mobilnya mati. Dapat dibayangkan, si pengemudi agak panik dan berusaha menstater kembali. Gagal. Pada saat yang bersamaan, datang sebuah mobil sedan di belakangnya, dan setengah mati berusaha menghindari mobil pick-up yang mati di tengah jalan menanjak itu.

Di belakang mobil sedan itu, ada sepeda motor yang dikemudikan oleh bapak dan membonceng seorang perempuan (tampaknya itu adalah istrinya). Saya menyaksikan sendiri, mobil sedan itu setelah berhasil melewati pick-up langsung menepi di jalan yang lebih datar. Begitu juga sepeda motor tersebut. Sang pengemudi sedan segera keluar dan mendekati mobil pick-up yang sopirnya masih berusaha menstater mesin mobilnya.  Begitu juga si pengemudi sepeda motor,  setelah menurunkan istrinya segera mendekati mobil pick-up itu. Mereka berdua berusaha membantu si pengemudi pick-up. Tanpa risih dan tanpa ragu-ragu, si pengemudi sedan mendorong pick-up tersebut. Bapak itu yang mengenakan pakaian resmi lengkap dengan jasnya, sama sekali tidak keberatan mendorong mobil.

Akhirnya, mobil pick-up itu berhasil juga melaju kembali berkat bantuan dua orang bapak yang baik hati itu.  Saya mengenal si pengemudi sedan, salah satu tetangga saya yang dosen Ekonomi di Unud dan baru saja menyelesaikan pendidikan doktornya.

Jadi, percayalah, di zaman edan ini, masih banyak ada orang baik yang bersedia membantu orang yang sedang dalam kesusahan tanpa pamrih.