Tag Archive | Persahabatan

Sahabat sejati

Bagi sebagian orang persahabatan di atas segala-galanya.  Demi kebaikan sahabatnya, seseorang rela berkorban. Tapi ada juga sebagian orang demi kepentingan dan kesenangannya sendiri rela mengorbankan persahabatan. Saya pernah mengalami yang kedua. Orang yang saya anggap sahabat sejati, orang yang sudah saya anggap keluarga sendiri, ternyata mampu menikam dari belakang. Menyakitkan memang, tapi itu sebuah fakta. Karena sebuah fakta tidak bisa diubah, satu-satunya cara harus menerima kenyataan tersebut agar sakit hati tak berlanjut dan menjadikannya pelajaran hidup.

Di samping itu, saya juga melihat tipe yang pertama. Tak jauh-jauh, orang itu adalah anak saya sendiri. Saya beberapa kali menjadi saksi bagaimana setianya anak ini pada sahabat-sahabatnya. Salah satu kejadiannya terjadi hampir setahun lalu menjelang ujian tulis SMPTN 2012. Ini cukup parah. Saat itu seorang sahabatnya sedang mengalami masalah dan ingin  mengangkhiri hidupnya. Kalau saja saya tidak melihat dan tidak mengenal orangnya, saya akan susah percaya.

Cerita singkatnya, sang sahabat sedang patah hati, ditinggal pacarnya dan tidak bisa menerima kenyataan. Begitu besarnya rasa cintanya pada sang pacar, sampai-sampai dia tidak  ingin hidup lagi. Sinetron banget ya? Si sahabat sampai melukai dirinya dengan menyilet-nyilet lengannya.  Mendengar ceritanya, saya sempat tersenyum dan teringat dengan cerita-cerita dalam sinetron.  Sebenarnya saya tidak bermaksud menertawai  temannya, sama sekali tidak. Tapi rupanya anak saya cukup ‘tersinggung’ dan berkata: “Ibu jangan ketawa, ini masalah serius dan sama sekali tidak lucu.” Ups!

Saya jawab, “Bukan gitu, Ibu agak heran saja, ternyata cerita-cerita dalam sinetron itu memang banyak terjadi dalam kehidupan nyata, dan Ibu susah percaya ada yang berani menyilet tangannya sendiri. Apa ngga sakit ya?”

Anak saya banyak cerita tentang masalah sahabatnya itu dan saya berusaha memberi saran serta masukan pada anak, bagaimana caranya menghadapi sang sahabat agar sadar dan kembali ke jalan yang benar. Karena si sahabat ini hanya mau terbuka pada anak, maka saya membekali anak apa-apa yang harus dikatakan,  supaya menyadarkannya bahwa dunia belum berakhir, bahwa dia masih punya orangtua dan keluarga yang harus diingat, bahwa dia punya banyak sahabat yang peduli. Kalau sampai mau bunuh diri, berarti dia mengabaikan orangtua dan keluarganya dan menganggapnya tidak ada.  Bunuh diri demi seorang (mantan) pacar yang kini sudah punya pacar baru, trus, apa arti orangtua dan keluarganya?

Anak saya bilang, cara halus tidak mempan lagi, maka saya katakan, boleh pakai cara yang sedikit “kasar”. Bangkitkan harga dirinya sebagai lelaki, katakan, apa tidak malu mengambil tindakan itu? Iya kalau mati beneran, kalau tidak? Kalau setengah mati dan setengah hidup? Apa ngga malu sama orang-orang? Kalau memang tidak kasihan sama diri sendiri, setidaknya, kasihanilah orangtua yang telah bersusah payah membesarkannya sampai saat ini.

Sekian hari anak saya sibuk “mengurus” sahabatnya, sampai tidak punya waktu  mempersiapkan diri untuk ujian tulis SMNPTN. Setiap saat sang sahabat datang ke rumah dan bercerita berjam-jam. Anak saya dengan setia mendengarkan, dan beberapa kali saya lihat anak saya menangis karena kasihan melihat sahabatnya yang begitu terpuruk.

Sebenarnya saat itu saya sangat khawatir, karena anak saya sama sekali tidak punya waktu untuk belajar sedangkan SMNPTN tinggal beberapa hari lagi. Dia ikut seleksi ujian tulis di dua tempat yaitu jalur SMNPTN (ngambil Psikologi di UNUD), dan satu lagi di POLTEKKES KEMENKES (ngambil Analis Kesehatan). Pelaksanaan kedua ujian tulis itu hanya selisih beberapa hari. Saya sudah meminjamkan setumpuk contoh-contoh soal untuk dipelajari, tapi selembar pun tidak sempat dia baca. Saat saya mengingatkannya untuk  belajar, dia bilang:

“Iya, Bu, Nanti Ajung belajar, sekarang ngga bisa… ada temen.”

“Boleh mikirin temen, tapi pikirkan juga masa depanmu. Hasil ujian ini akan menentukan masa depanmu.”

Dia memandang saya dengan sinar mata memohon pengertian dan minta maaf. Dia mengerti, tapi dia juga tidak bisa meninggalkan sahabatnya dalam kondisi demikian.

“Iya, Bu. Ajung ngerti. Tapi…. ini masalah nyawa,  dia bener-bener melukai dirinya. Ajung khawatir… kalau dia nanti bener2 nekad, Ajung akan menyesal. Dia hanya mau mendengarkan omongan Ajung. Ajung mau bantu dia.”

Itu terjadi beberapa kali, akhirnya saya tidak bisa berkata-kata lagi, hanya menghela napas panjang dan berdoa semoga saat ujian nanti bisa berhasil dengan baik. Tapi memang saya juga kasihan sama temannya itu. Kelihatan sekali mentalnya down, menurut saya, dia terlalu lemah.

Akhir kata, setelah sekian lama, anak saya berhasil menunaikan ‘tugasnya’. Sedikit demi sedikit berhasil menyadarkan si sahabat, membangkitkan semangat hidupnya dan mendorongnya serta memanas-manasi agar segera mencari pacar baru. “Masa kalah sih sama mantanmu? Awas ya, kalau kamu macam-macam lagi, pakai acara mencoba bunuh diri segala. Kalau sampai terulang lagi, jangan panggil aku sebagai temanmu. Kita ngga usah berteman lagi. Aku malu punya temen cemen kaya’ kamu.”

Saya ikut senang, pelan-pelan si sahabat tampak mulai normal. Dan, saya lebih senang lagi, ketiba tiba pengumuman kelulusan di Poltekkes, anak saya dinyatakan lulus. Trus, beberapa hari kemudian diikuti oleh pengumuman kelulusan SMNPTN, dan dinyatakan lulus juga di jurusan Psikologi Unud.

Saat itu saya merasa lega, walaupun sebelumnya khawatir bukan alang kepalang, menunggu dengan harap-harap cemas pengumuman tersebut, mengingat anak yang sama sekali tidak belajar.  Dia lebih memikirkan kondisi sahabatnya yang dianggap kritis ketimbang kepentingan dirinya sendiri.