Mengajar orang dari tidak bisa menjadi bisa, dan ternyata kebisaannya itu memberi manfaat yang mempengaruhi dan bahkan meningkatkan kualitas hidupnya, benar-benar memberi kepuasan batin. Seperti yang sering saya alami. Banyak suka-duka yang saya alami (kebanyakan sukanya sih) ketika mengajar komputer, baik sekarang (yang mengajar secara privat) ataupun dulu ketika masih berada di bawah sebuah lembaga.
Ketika masih gadis dan masih kuliah, saya bekerja di sebuah lembaga pendidikan komputer sebagai salah satu instrukturnya. Saya mulai mengajar komputer sejak tahun 1987, masih menggunakan komputer Apple IIe. Berbagai pengalaman saya alami baik yang menyenangkan atau yang bikin nervous. Pernah saat saya masih duduk di semester V, saya harus mengajar praktikum komputer untuk anak-anak SMA kelas II yang sedang bandel-bandelnya. Mungkin karena melihat tampang saya yang barangkali hampir sebaya dengan mereka, mereka mencoba untuk “tidak patuh” dan mau ngerjain saya. Tapi, dengan “power” yang saya miliki, saya berhasil “menjinakkan” mereka dengan mengatakan (diucapkan dengan wajah tenang dan santai) : “yang tidak berniat untuk ikut praktikum, dipersilakan menunggu di luar, dengan catatan saya juga tidak bisa memberi nilai untuk rapor kalian.”
Saya juga pernah grogi berat ketika untuk pertama kali harus berdiri di depan bapak-bapak pejabat sebuah hotel bintang lima di Nusa Dua untuk memberi pelatihan komputer. Saya ingat saat itu saya sudah duduk di semester VI. Waktu berangkat ke sana, saya diantar oleh pimpinan lembaga saya, kemudian setelah diperkenalkan saya ditinggalkan sendiri dengan memberi pesan kepada bapak-bapak itu: “Materi selanjutnya akan disampaikan olek Desak. Karena Desak ini memang masih sangat muda, tolong jangan digojlok ya.” Sambil tersenyum, dia menempuk pundak saya (seolah-olah memberi kekuatan), kemudian pergi dan akan dijemput kemudian.
Itu sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Sejenak saya seperti kehilangan kata-kata, melihat begitu banyaknya peserta pelatihan. Tapi syukurlah, setelah menarik napas, pelan-pelan saya bisa menguasai diri dan menguasai ruangan. Waktu itu belum ada LCD Projector, hanya ada OHP Projector. Sebelum masuk ke materi, saya membuka percakapan dan berusaha mengakrabkan diri dengan minta tolong pada seorang peserta untuk mengajari saya cara memakai OHP itu. Walaupun sebenarnya saya sudah bisa, itu hanya cara saya untuk menghilangkan grogi dan demam panggung.
Setelah berbasa-basi akhirnya saya bisa membaur dengan mereka dan terjadilah pelatihan yang interaktif. Pelatihan hari pertama berjalan dengan sukses diikuti dengan pelatihan-pelatihan berikutnya.
Selain memberi pelatihan di instansi-instansi, saya juga mengajar secara privat yang materinya disesuaikan dengan kebutuhan si murid. Saat itu ada murid yang sangat istimewa, beliau sudah berusia hampir 70 tahun, tapi masih sangat enerjik dengan semangat belajar yang luar biasa. Beliau adalah Dr. A. A. Made Djelantik, dari Puri Karangasem, salah satu putra Raja Karangasem terakhir. Selain dokter, beliau juga seorang budayawan dan sering menulis. Beliau ingin belajar bagaimana menggunakan program word processor untuk mempermudah beliau dalam menulis dan menyunting naskah. Tempat tinggal beliau berdekatan dengan kantor saya waktu itu, cukup dengan berjalan kaki saja.
Saya sangat terkesan dengan kerendahan hati dan kebaikannya. Tutur katanya sangat lembut dengan wajah yang selalu tersenyum. Aura aristokratnya sangat kentara. Beliau adalah putra Bali pertama yang menjadi dokter dan beristrikan perempuan Belanda, dan lama bertugas di luar negeri sebagai dokter PBB. Beliau juga sangat perhatian, pernah suatu ketika saat sedang mengajar, mungkin beliau melihat saya agak kurang fit, beliau langsung menegur, “Desak sakit ya? Kelihatan pucat, ayoo, ke rumah… saya periksa dulu, mungkin tensinya drop.” Saya jawab, tidak apa-apa, tapi beliau tidak percaya. Dengan setengah memaksa, beliau tetap membujuk. Akhirnya, karena tidak enak dengan kebaikan hatinya, saya mau juga ikut ke rumah beliau yang hanya tinggal menyeberang saja. Benar, tensi saya drop, beliau memberi saya beberapa vitamin dan menekankan saya tidak boleh lupa minum vitamin tersebut. Itu hanya salah satu kebaikan beliau.
Salah satu bentuk perhatiannya yang lain adalah, sekembalinya bepergian dari luar neger selalu ada saja oleh-oleh yang dibawanya. Terakhir saya dibawakan sebuah kalung plus liontin, katanya untuk kenang-kenangan setelah beliau berhenti kursus. Semua itu terjadi jaaauuuuuhh sebelum saya menikah bahkan sebelum kenal dengan calon suami (yang sekarang sudah jadi suami), dan, siapa sangka… sekian tahun kemudian, setelah saya menikah… ternyata saya menjadi salah satu cucu mantu beliau, dengan kata lain, dilihat dari silsilah keluarga, suami saya adalah salah satu dari sekian cucu beliau. Ketika beliau melihat saya, beliau terkekeh-kekeh senang, katanya (dalam bahasa Bali) : “Lho… niki kan gurun tiyang’e, guru komputer tiyang’e” (Bhs. Indonesia: Lho, ini kan guru saya, guru komputer saya). Sekarang, beliau sudah tiada, yang berpulang pada tahun 2007 silam, tapi kenangan akan kebaikan beliau selalu tersimpan di hati.
Kini, saya bekerja di rumah saja. Selain tetap mengajar privat komputer (yang tidak mungkin bisa saya tinggalkan), sebagian besar waktu saya sekarang adalah menerjemah. Cita-cita masa remaja yang akhirnya jadi kenyataan 🙂
0.000000
0.000000