Tag Archive | nostalgia

Dikenali lewat suara

Suatu pagi di kantor pajak. Hari itu kantor pajak sungguh ramai, bukan hanya dipenuhi oleh wajib pajak yang menyetorkan laporan bulanan, tetapi terutama dipenuhi oleh orang-orang yang hendak menyetorkan SPT Tahunan berhubung deadline telah dekat. Saya duduk di deretan paling depan (hanya itu sih yang kosong) sambil memandangi orang-orang yang hilir-mudik ke depan menuju meja petugas. Saya melihat seorang ibu muda tinggi semampai yang cantik sekali, mirip Maia Estianti, berjalan ke arah saya dengan gelisah dan tampak agak bingung. Dia kemudian duduk di sebelah saya, satu-satunya kursi yang masih kosong. Rupanya dia baru menghadap petugas dan mungkin berkas laporannya dianggap ada yang salah atau kurang lengkap sehingga dikembalikan.

Saya tersenyum ramah ketika dia duduk di sebelah saya.

“Saya bingung, entah apanya lagi yang salah,” katanya pelan sambil membuka-buka berkas laporan pajaknya.

“Pak petugas tadi bilang apa, Bu? Dia ngga bilang salahnya apa?” tanya saya.

“Katanya saya harus membuat surat pernyataan, tapi surat pernyataan apa. Saya baru buka perusahaan, baru beberapa bulan,” lanjutnya.

Setelah bercakap-cakap beberapa saat saya mengerti bahwa ibu muda ini baru membuka laundry, tepatnya sedang dalam masa persiapan. Jadi, perusahaannya belum ada aktivitas. Tapi berhubung sudah ada NPWP, ada atau tidak ada aktivitas, tetap harus membuat laporan. Saya langsung mengerti apa yang dimaksud oleh petugas pajak tadi.

“Begini, Bu, surat pernyataan yang dimaksud oleh petugas tadi adalah sebuah surat yang isinya menyatakan bahwa perusahaan Ibu memang baru dibuat dan belum ada aktivitas sehingga laporan yang Ibu laporkan pun nihil,” saya berusaha menjelaskan apa yang saya tahu.

“Oh,begitu?”

“Iya, Bu, jangan lupa pakai meterai 6000. Walapun nihil, Ibu tetap harus melampirkan neraca dan laporan rugi-laba. Tidak masalah belum ada transaksi atau nilainya nol, yang penting tetap harus dilampirkan,” lanjut saya. Sedapat mungkin saya menyampaikan apa yang saya tahu karena kasihan jangan sampai dia harus bolak-balik disalahkan oleh petugas.

“Oh, makasih, Bu. Saya ngerti sekarang, untung saya ketemu Ibu,” senyumnya. Wajahnya lebih cerah, tidak sebingung tadi.

Setelah itu kami ngobrol santai, saling menanyakan tempat tinggal dan basa-basi lainnya. Kami juga bertukar nomor HP dan akun FB. 😀

Di tengah obrolan santai kami, tiba-tiba seseorang memanggil saya.

“Mbak Desak?” suaranya terdengar ragu. Saya menoleh dan mencari asal suara itu. Di sebelah kiri saya duduk seorang ibu yang sibuk dengan ponselnya. Di sebelah kiri ibu itulah ada seseorang yang sedang menjulurkan lehernya agar bisa melihat saya, sambil menyebut nama saya lagi.

“Iyaaa?” nada suara saya tak kalah ragu.

“Mbak Desak kan? Lupa sama saya, Mbak?” lanjutnya sambil tersenyum.

Saya mencoba mengingatnya. Rasanya kok tidak enak kalau saya langsung bilang lupa. Saya berusaha keras membongkar ingatan saya, berharap saya bisa segera mengenalinya.

“Bukan lupa, aduh… kapan ya kita ketemu terakhir? Rasanya sudah lama sekali, ya?” saya masih berusaha mengulur-ulur waktu.

“Iya, Mbak, lama banget, kita dulu sama-sama di ACC,” lanjutnya. Begitu menyebut nama ‘ACC’ ingatan saya langsung terang-benderang. Iya iya, perempuan ini adalah Yudit, teman sekantor waktu saya masih kerja di sebuah lembaga konsultan dan pendidikan komputer.

“Wah, Yudit! Berapa puluh tahun kita tidak ketemu?” saya merasa gembira dan lega sekali ketika berhasil mengingat namanya. Di tempat kerja saya dulu, saya termasuk karyawan angkatan pertama. Setelah saya sekian tahun bekerja di sana, Yudit baru masuk. Tapi beberapa bulan setelah dia masuk saya resign karena mau buka usaha sendiri bersama adik-adik. Jadi, saya tidak sempat bergaul lama dengan dia.

“Tadi saya tidak melihat ada Mbak Desak duduk di sini sampai saya mendengar Mbak bercakap-cakap dengan ibu itu. Saya langsung mengenali suara Mbak Desak.” Yudit tersenyum lebar.

“Wah, jadi, Yudit mengenali saya karena mendengar suara saya tadi?”

“Iya, Mbak, suara Mbak Desak khas sekali dan mudah dikenal,” katanya sambil tertawa. Kami kemudian ngobrol sebentar, nostalgia ceritanya. Beruntung ibu yang tadi main ponsel itu sudah mendapat giliran maju ke meja petugas sehingga kami bisa ngobrol dengan bebas.

Beberapa saat kemudian, nomot antrian Yudit mendapat giliran maju. Kami pun berpisah.

Hari itu, sepanjang perjalanan pulang saya senyum-senyum sendiri mengingat pertemuan kami. Bayangkan, setelah duapuluh tahun lebih tidak ketemu dia masih mengenali suara saya. Siapa sebenarnya yang hebat? Saya atau ingatannya dia? Saya cenderung pada pilihan yang kedua. Daya ingat Yudit yang luar biasa. 😀